UNTUK MENDAPATKAN BULETIN AL-IMAN DALAM BENTUK PDF KLIK TAHUN 1 TAHUN 2 TAHUN 3

Home » , » MENGGAPAI LAILATUL QADAR

MENGGAPAI LAILATUL QADAR

Written By Unknown on Rabu, 13 Februari 2013 | 08.02




Lailatul qadar adalah malam yang memiliki keutamaan agung yang begitu melimpah,
yang mana malam tersebut merupakan malam bulan Ramadhan yang paling utama dan paling
baik. Cukuplah bagi kita al-Qur`anul karim yang telah Allah ta’ala turunkan padanya sebuah
surat yang diberi nama surat al-Qadr. Kemudian, oleh karena begitu mulia dan utama malam
tersebut, Imam al-Bukhari membuat sebuah kitab khusus dalam Shahihnya yang ia beri judul;
Kitab Fadhl Lailah al-Qadr (Kitab: Keutamaan Lailatul Qadar).
Dan diantara keutamaannya ialah, Allah menurunkan al-Qur`an pada malam lailatul
qadar, merupakan malam penuh berkah, lebih baik dari seribu bulan, malaikat turun pada
malam harinya, di malam itu keamanan dan kesejahteraan meliputi orang-orang yang
beriman, dan malaikat senantiasa mendoakan keselamatan bagi mereka. (Baca surat al-Qadr:
1-5 dan ad-Dukhan: 3)
Di antara keutamaannya yang lain, qiyamullail pada malam itu dapat menjadi pelebur
dosa yang telah lalu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa yang mengerjakan qiyamullail pada malam lailatul qadar karena iman dan
mengharap pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq 'alaihi)
Selain dari itu, doa pada malam itu mustajab (terkabulkan). Syaikh Abdullah Alu
Bassam rahimahullah bertutur: “Sudah sepatutnya pada malam malam lailatul qadar doa dan
istighfar diperbanyak, sebab doa pada malam itu mustajab.” (Taudhih al-Ahkam, juz 3, hal.
240)

MENENTUKAN WAKTU LAILATUL QADAR
Lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan. Hanya saja, para ulama berselisih dalam
menentukan waktu pasti terjadinya lailatul qadar. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata
dalam Fath al-Bari: Ulama berselisih hebat dalam menentukan kapan waktu lailatul qadar, dan
kami berhasil menghimpun dari madzhab-madzhab mereka lebih dari empat puluh pendapat.
(Jilid 4, hal. 330-335)
Syaikh Abdullah Alu Bassam rahimahullah berkata dalam kitabnya Taudhih al-Ahkam:
Pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan menjadi empat kelompok besar: Pertama:
Pendapat yang tertolak, seperti perkataan yang mengingkari atau menyatakan lailatul qadar
sudah terangkat (tidak ada lagi setelah dahulu ada). Kedua: Pendapat lemah, seperti perkataan
bahwa lailatul qadar ada pada pertengahan bulan Sya'ban. Ketiga: Pendapat kurang kuat,
seperti pendapat yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, namun
bukan pada sepuluh malam terakhir. Keempat: Pendapat yang terkuat, yaitu yang meyakini
lailatul qadar terjadi pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, dan yang paling kuat adalah pada
malam-malam ganjilnya, dan yang terkuat dari malam ganjil adalah pada malam kedua puluh
tujuh. (Jilid 3, hal. 237)

Pendapat Bagus Seputar Pembahasan
Dalam kitab Shifah Shaum an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan:
● Telah datang keterangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa lailatul qadar
dapat terjadi pada malam ke-21, 23, 25, ,27, 29, dan malam terakhir dari bulan Ramadhan.
● Dan pendapat paling kuat adalah yang menyatakan bahwa lailatul qadar terjadi
pada malam-malam ganjil bulan Ramadhan, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
mendekati malam-malam terakhir bulan Ramadhan beliau berkata:

“Berusahalah mencari lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan.” (HR. Bukhari & Muslim)
● Apabila seorang hamba lemah atau dalam kondisi kurang fit, maka janganlah ia
sampai lengah (untuk mencarinya) pada tujuh malam terakhir. Dalilnya adalah keterangan dari
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Berusahalah untuk mencarinya pada sepuluh hari terakhir, apabila seorang dari kalian lemah
atau kurang fit, maka jangan sampai ia lengah pada tujuh hari terakhirnya.” (HR. Bukhari &
Muslim)
Fatwa Ulama Seputar Pembahasan

1. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang lailatul qadar,
ketika beliau berada di dalam penjara tahun 706 H. (Majmu' al-Fatawa, juz 25, hal. 284-286):
Beliau menjawab: “Segala puji hanya milik Allah subhanah. Lailatul qadar ada
pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana kabar shahih dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

“(Lailatul qadar) ada pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.”
Dan ia ada pada malam-malam ganjilnya. Namun perhitungan ganjil tersebut dapat dilihat dari
hari yang berlalu (dari depan), sehingga bisa dicari pada malam ke-21, 23, 25, 27, dan 29. Atau
dapat pula dilihat dari hari yang tersisa (dari belakang), sebagaimana yang disabdakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“(Yakni) pada malam kesembilan yang tersisa, kelima yang tersisa, dan ketiga yang tersisa.”
Dengan demikian, apabila bulan tersebut berjumlah 30 hari, maka lailatul qadar ada
pada malam-malam genap. Sehingga malam ke-22 adalah malam ke-9 yang tersisa, malam ke-
24 adalah malam ke-7 yang tersisa, dan seterusnya, sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abu
Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dalam hadits shahih, dan begitu pula yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebulan itu. (HR. Bukhari)
Namun apabila bulan itu berjumlah 29 hari, perhitungan dari belakang sama dengan
dari depan. Kalau memang perhitungannya demikian, sepatutnya seorang mukmin mencarinya
pada sepuluh malam terakhir seluruhnya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam:

“Carilah (lailatul qadar) pada sepuluh hari terakhir.”
Namun kemungkinan terbesarnya ada pada tujuh hari terakhir, dan yang lebih besar
lagi pada malam ke-27, sebagaimana dahulu Ubay bin Ka'ab radhiyallahu ‘anhu sampai
bersumpah bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ke-27. Ketika ditanya, dengan apa engkau
dapat mengetahuinya, ia menjawab: Dengan tanda yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam kabarkan kepada kita. Beliau mengabarkan bahwa pada pagi harinya matahari terbit
seperti nampan tak bersinar.”

2. Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah.

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata: Lantas malam keberapa sajakah yang
merupakan bilangan ganjilnya? Jawabnya adalah: (Malam) ke-21, 23, 25, 27, dan 29, lima
malam tersebut yang sangat diharapkan, namun ini tidak berarti bahwa lailatul qadar tidak ada
kecuali pada malam ganjil, akan tetapi mungkin ada pada malam ganjil dan malam genap. (asy-
Syarh al-Mumti', juz 6, hal. 494)

TUNTUNAN NABI DALAM MENGHIDUPKAN MALAM LAILATUL QADAR
Barang siapa yang terhalang dari beribadah pada malam lailatul qadar, sungguh ia
telah terhalang dari kebaikan, dan tidaklah terhalang dari kebaikan malam itu kecuali orang
yang mahrum (terhalang dari kebaikan). Oleh karenanya, setiap muslim sangat dianjurkan
untuk menghidupkan lailatul qadar dengan penuh iman dan mengharap pahala yang
dijanjikan. Sehingga apabila ia ikhlas melaksanakannya, dosa dan kesalahan yang pernah ia
goreskan di masa lalu dapat terampuni.
Di bawah ini, beberapa tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
menghidupkan malam lailatul qadar.

Pertama: Bersungguh-sungguh, optimis, dan antusias dalam mencari Lailatul Qadar.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu
begitu semangat (beribadah) pada sepuluh hari terakhir yang tidak pernah beliau lakukan pada
hari selainnya. (HR. Muslim no. 1175)
Kedua: Menghidupkan malam dengan Qiyamullail.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barang siapa mengerjakan qiyamullail pada malam lailatul qadar karena keimanan dan
mengharap pahala, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu.” (Muttafaq 'alaihi)
Ketiga: Memperbanyak doa.
Berdoa dan memperbanyak doa pada malam lailatul qadar sangat dianjurkan sekali.
Terutama dengan doa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah
radhiyallahu ‘anha. Aisyah pernah bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: Ya
Rasulullah, bagaimana menurutmu, apabila ada suatu malam yang aku yakini sebagai malam
lailatul qadar, apa yang aku ucapkan? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

“Ucapkanlah doa: Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, suka memaafkan, maka
maafkanlah aku.” (Hadits Shahih. HR. Ahmad, Timidzi, dll.)
Asy-Syaukani rahimahullah berkata: Hadits tersebut mengandung dalil dianjurkannya
doa pada malam itu dengan beberapa untaian kalimat di atas. (Nail al-Authar, jilid 2, hal. 346)
Abdullah Alu Bassam rahimahullah bertutur: Doa tersebut adalah doa paling afdhal
yang dipanjatkan untuk memohon (sesuatu) kepada Allah ta'ala. (Taudhih al-Ahkam, juz 3, hal.
239)
Keempat: Menghidupkan lailatul qadar dengan ibadah dan mengajak keluarga untuk ikut
beribadah.
Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata: Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam apabila memasuki sepuluh malam terakhir beliau mengencangkan tali sarungnya,
menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya. (HR. Bukhari no. 2204, Muslim
no. 1174)
Semoga Allah ta’ala mempertemukan kita dengan malam lailatul qadar dalam
naungan iman, takwa, dan ittiba' kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amin.

[Oleh: M. Sulhan Jauhari]

0 komentar:

Buletin Terbaru

Radom Post

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS