UNTUK MENDAPATKAN BULETIN AL-IMAN DALAM BENTUK PDF KLIK TAHUN 1 TAHUN 2 TAHUN 3

Home » » Pena Bermata Dua

Pena Bermata Dua

Written By Unknown on Kamis, 14 Februari 2013 | 07.32



Nasihat Bagi Para Penulis

Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr hafizhahullah

Dalam menulis sebuah tulisan, makalah, artikel, tulisan ilmiah, atau semacamnya, ada
satu hal yang sangat perlu untuk diperhatikan. Bukan sekedar tata bahasa atau keindahan
merangkai kata, namun yang lebih penting dari itu ialah kandungannya, apakah berisi ajakan
kepada kebenaran atau rayuan kepada kesesatan dan keburukan. Bagi anda yang hobi
menulis dan mempublikasikannya kepada khalayak ramai, sangat perlu menyimak nasihat
tulus dari seorang ulama sunnah berikut ini. Insyaallah sangat bermanfaat.
--------------------------------------------------------
Semoga Allah memuliakan pena sebagai makhluk pertama ciptaan-Nya, sebagaimana
diterangkan dalam sebuah hadits shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah
telah bersumpah dengan pena karena kemuliaannya dan kemuliaan tujuan penciptaannya.
Allah berfirman:

“Nun, demi qolam (pena) dan apa yang mereka tulis.” (QS. al-Qolam: 1)
Allah bersumpah dengan pena bahwa dakwah agama Islam bersandar kepada
seseorang Nabi ma’shum yang sempurna akal dan kekuatannya. Oleh sebab itu, Allah
meneruskan ayat di atas dengan firman-Nya:

“Berkat nikmat Rabb-mu, kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila.” (QS. al-Qolam: 2)
Sebab, gila merupakan penyakit yang dapat menghalangi diri dari menjalankan
kewajiban agama dan menyampaikan dakwah, juga merupakan salah satu faktor penyebab
seseorang melampaui batas.
Karena itu, siapa yang terjangkiti penyakit gila, ia tidak boleh memegang pena atau
menulis dengannya. Apa jadinya bila pena ini disandarkan kepada orang gila yang ada
di muka bumi ini? Sungguh, dia pasti akan merusak umat manusia. Kondisinya tak jauh
berbeda dengan orang gila yang diberi bom atau senjata penghancur masa.
Allah ‘azza wa jalla juga menyebut pena pada beberapa tempat pada kitab-Nya yang
mulia, seperti pada firman-Nya:

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan
kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan)
kalimat (ilmu) Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Luqman: 27)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah menjelaskan urgensi ilmu dan
kedudukannya yang tinggi di dalam Islam. Kemudian, –selain Allah telah bersumpah
dengan pena pada surat al-Qolam- sesuatu yang pertama kali mengetuk pendengaran Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dari beberapa ayat al-Qur`an yang mulia adalah pengagungan
terhadap kedudukan pena pada beberapa ayat pertama yang Allah turunkan kepada nabi-
Nya shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah berfirman:

“(Allah) Yang mengajar (manusia) dengan perantara pena (baca tulis). Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. al-’Alaq: 4-5)

Maka itu, karena begitu pentingnya ilmu dan sarana-sarana untuk menggapainya,
Allah menjelaskan hal itu kepada kita pada sela-sela surat al-‘Alaq. Karena masyarakat
Jahiliyah dahulu adalah umat yang Ummiy; tidak bisa baca tulis kecuali sedikit, dan ini
merupakan penyakit terparah dalam sejarah perjalanan waktu.
Kemudian, tatkala bahan bacaan mudah terlupakan dan hilang, maka agama Islam
mewajibkan agar bacaan itu dicatat dengan sarana tulisan, sedangkan pena adalah pena
meskipun bentuk dan sarananya berubah-ubah dan berbeda-beda.

SEBUAH NASIHAT
Pena adalah amanah yang ada pada pundak orang yang membawanya, tidak
sepatutnya ia menggoreskan pena itu melainkan untuk menulis risalah yang diturunkan
kepada para Nabi dan pewaris mereka yakni ulama. Maka, salah dalam menggunakan pena
seperti salah dalam memainkan senjata, keduanya sama-sama mengakibatkan rusaknya
akal dan jiwa. Dalam kesempatan ini, seorang pujangga bersyair:

Sekiranya ia menulis dengan sombong pada lembaran putih kertasnya
Leluasa ia menghinakan suatu bangsa dan memuliakan yang lainnya
Oleh karenanya, para penulis harus bertakwa kepada Allah dengan goresan pena-
pena mereka. Sebab ucapan adalah amanah yang dikalungkan pada ujung pena mereka,
dan perkataan merupakan amanah yang melingkar di leher-leher mereka. Dan Allah akan
mempertanyakan pertanggungjawaban mereka atas amanah tersebut, sebuah amanah yang
enggan dipikul oleh langit, bumi dan gunung-gunung, bahkan semuanya bergetar selama
beberapa hari lantaran begitu beratnya amanah tersebut.
Bagi para pemilik pena yang beriman kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai
agama, dan Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul, tidak boleh
melampaui batas dalam penggunaannya, sebab bisa berakibat menyimpang dari kebenaran,
memihak kepada kebatilan dan kesesatan, menuduh, mengejek, mengolok-olok serta
berlaku masa bodoh terhadap orang lain. Dia memuji diri sendiri atau kawannya namun
sayang tidak memuji Rabb-nya.
Pena diciptakan untuk menyucikan dan mengagungkan Tuhan, mengajak manusia
kembali kepada-Nya, mengenalkan Allah kepada mereka sebagai sesembahan satu-satunya
yang Haq, bukan untuk mendekatkan diri kepada penghuni dunia, melariskan dagangan
bid’ahnya, atau menuliskan pujian dusta. Tidak pula untuk mendakwahkan manhaj-manhaj
rusak dan ajaran buruk lainnya.
Alangkah banyaknya pena yang harus dipatahkan. Betapa banyak penulis yang
harus dipensiunkan. Sebab mereka tidak cakap dalam menggunakan pena. Mereka justru
membuka lembaran-lembaran kebatilan demi menggapai kesenangan jiwa dan kepuasan.
Hanya kepada Allah semata kita memohon pertolongan.

[Diterjemahkan oleh M. Sulhan Jauhari dari sebuah makalah yang berjudul TughyĆ¢n al-Qolam,
Majalah Ommaty, hal. 30, edisi XXV, Sya’ban 1427 H (September 2006)]

0 komentar:

Buletin Terbaru

Radom Post

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS