Pada buletin edisi sebelumnya telah disampaikan beberapa penyakit lisan, yaitu: BERDUSTA, GHIBAH/MENGGUNJING, MUDAH MENCELA, NAMIMAH/MENGADU DOMBA, DAN BERKATA KEJI. Untuk melengkapi tulisan sebelumnya, Redaksi akan menyebutkan beberapa racun dan penyakit lisan lainnya yang tidak kalah bahayanya. Selamat menyimak.
1. BERDOA
KEPADA SELAIN ALLAH
Ini merupakan penyakit lisan yang sangat
berbahaya, sebab ini merupakan syirik besar. Seseorang yang berdoa, menyeru
atau memohon kepada selain Allah berarti telah menduakan Allah dalam doanya.
Padahal “doa adalah ibadah” dan ibadah itu wajib ditujukan hanya kepada
Allah semata.
Dalam berdoa, seseorang diperintahkan agar
langsung berdoa kepada Allah, tidak kepada makhluk-makhluk Allah yang sangat
lemah, entah itu kepada malaikat Jibril atau kepada Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam. Allah sendiri yang telah memerintahkan kita agar berdoa langsung
kepada-Nya. Firman-Nya:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ
Dan Rabb-mu berfirman: berdo’alah kamu kepadaku, niscaya akan aku
perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari
beribadah (berdoa) kepadaku akan masuk neraka dalam keadaan hina dina. (QS. Ghafir: 60)
Allah subhanahu
wa ta'ala juga telah menjelaskan:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku maka
sesungguhnya aku Maha dekat, aku mengijabahi doa seorang hamba apabila ia
berdoa kepada-Ku. (QS. al-Baqarah: 186)
Dari dua ayat di atas dapat kita ketahui bahwa
berdoa ditujukan hanya kepada Allah semata, tidak kepada makhluk yang sangat
lemah seperti ahli kubur, syaikh tertentu, atau kepada benda mati seperti batu,
pohon, keris atau yang lainnya.
2. BERNAZAR
KEPADA SELAIN ALLAH
Ini pun termasuk penyakit lisan yang sangat
berbahaya, karena juga termasuk kesyirikan kepada Allah, bahkan syirik besar. Seseorang
yang bernazar seharusnya hanya ditujukan kepada Allah, karena nazar adalah
ibadah, dan ibadah itu tidak boleh ditujukan kepada selain Allah.
Seseorang yang bernazar dan berkata dalam nadzarnya:
“bila aku lulus ujian atau mendapatkan pekerjaan, maka aku bernazar kepada
Wali Fulan untuk berpuasa selama tiga hari berturut-turut,” atau “bila
aku sembuh dari penyakit ini maka aku bernazar untuk Syaikh fulan dengan menyembelih
kambing di sisi keramat Syaikh fulan” maka ini merupakan kesyirikan.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
Barang siapa yang bernazar untuk taat kepada Allah hendaknya ia
menaati-Nya, dan barang siapa yang bernazar untuk bermaksiat kepada-Nya maka
janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.
Bernazar kepada selain Allah merupakan
kesyirikan, bukan ketaatan, jadi haram baginya untuk memenuhi nadzarnya itu. Bila
nazar seperti ini pernah dilakukan, hendaknya ia bertaubat kepada Allah dengan
taubat nasuha.
3. BERSUMPAH
DENGAN NAMA SELAIN ALLAH
Hal ini juga merupakan bentuk kesyirikan,
namun ini termasuk syirik kecil, yaitu ketika seseorang bersumpah dengan nama
selain Allah. Entah itu bersumpah dengan nama Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam atau nabi lainnya, malaikat Jibril atau malaikat lainnya,
apalagi kepada selain mereka yang derajatnya jauh di bawah malaikat dan para
nabi dan rasul.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ.
Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, sungguh ia telah
kafir atau berbuat kesyirikan. (HR. at-Tirmidzi dan beliau menghukuminya
hasan)
Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
juga menjelaskan:
أَلاَ إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِآبَائِكُمْ فَمَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ وَإِلاَّ فَلْيَصْمُتْ.
Ketahuilah, sesungguhnya Allah melarang kalian bersumpah dengan nenek
moyang kalian. Barang siapa yang bersumpah hendaknya ia bersumpah dengan nama
Allah, atau kalau tidak maka diam. (HR. al-Bukhari)
4. BERLEBIH-LEBIHAN
DALAM MEMUJI
Dikhususkan di sini ketika memuji Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam. seseorang wajib menghormati, memuliakan dan mengagungkan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Demikian pula tidak mengapa ia
memuji beliau. Namun, perlu diketahui, hendaknya pujian, pengagungan dan
penghormatan tersebut hendaknya sesuai dengan kedudukan beliau, yaitu bahwa
beliau adalah manusia biasa yang Allah berikan wahyu kepadanya.
Sedikit pun Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam tidak memiliki sifat ketuhanan, maka itu tidak diperkenankan
seseorang berseru, bernazar, bersumpah atau mengalamatkan ibadah yang lainnya
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Jangan sampai seseorang
berlebih-lebihan memuji beliau sebagaimana orang-orang Nashara yang
berlebih-lebihan memuji Nabi Isa ‘alaihissalam hingga berkeyakinan bahwa
beliau adalah Tuhan.
Perhatikan nasihat Nabi mulia shallallahu
'alaihi wa sallam berikut:
لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُوْلُهُ.
Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana
orang-orang Nashara yang berlebih-lebihan dalam memuji Isa bin Maryam, karena
sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu ucapkanlah: hamba Allah dan
rasul-Nya. (HR.
al-Bukhari)
5. BERKATA
DALAM AGAMA TANPA ILMU
Haram hukumnya seseorang berkata tanpa agama
tanpa ilmu: menyampaikan nasihat tanpa bekal ilmu, berkata tentang tafsir
al-Qur’an tanpa ilmu, menjelaskan makna hadits tanpa ilmu, menjawab pertanyaan
seputar agama tanpa ilmu, dst. Itu merupakan tindakan kriminalitas tingkat
tinggi di dalam agama Islam. Karena semua anggota badan –termasuk lisan- akan
dimintai pertanggung jawabannya pada hari kiamat kelak.
Ketika Allah menjelaskan:
ﭽ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ ﯽ
ﯾ ﯿ ﰀ ﭼ
الإسراء: ٣٦
“Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS. al-Isra’: 36)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan
bahwa inti penafsiran para ulama tentang ayat di atas adalah larang berkata
tanpa ilmu.
Semoga kita dijaga oleh Allah dari berbagai
petaka lisan. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar