Setiap insan pasti ingin merasa tenang,
tenteram, dan harmonis dalam kehidupan bermasyarakat serta mendapatkan
kemenangan di akhirat kelak. Untuk menggapai hal itu, dibutuhkan adanya
berbagai usaha. Di antara usaha tersebut adalah hendaknya tiap individu bersifat
tawadhu’ atau merendahkan diri. Dengan demikian insya Allah masyarakat akan
bisa menggapai kehidupan yang tenteram dan harmonis serta akan mendapat
kemenangan di akhirat. Lalu bagaimanakah sifat tawadhu’ itu? Apa saja
keutamaannya dan bagaimana dampak baiknya terhadap masyarakat?. Dalam makalah
ini kami akan mencoba menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Selamat membaca
dan mudah-mudahan bermanfaat.
Islam Memerintahkan Umatnya untuk Tawadhu’
Islam adalah agama yang menghendaki adanya
persatuan, persaudaraan, dan sikap menghargai antar manusia. Maka dari
itu Islam mengajak umatnya kepada sifat-sifat terpuji dan melarang mereka dari
sifat-sifat tercela. Di antara sifat terpuji tersebut adalah sikap tawadhu’ dan
di antara sifat tercela adalah sombong. Allah bercerita tentang nasihat Luqman
kepada anaknya, yang artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” (QS. Luqman: 18)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman
(artinya): “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,
yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. Asy-Syu’ara`: 215)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّ اللهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ
تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِي أَحَدٌ عَلَى
أَحَدٌ
“Sesungguhnya Allah telah mewahyukan
kepadaku agar kalian merendahkan hati sehingga seseorang tidak menyombongkan
diri atas yang lain dan tidak berlaku zalim atas yang lain.” (HR. Muslim no.
2588)
Hakikat Tawadhu’
Hakikat tawadhu’ adalah tunduk kepada
kebenaran dan menerimanya dari siapa pun datangnya, baik ketika ia suka ataupun
duka. Merendahkan hati di hadapan sesamanya dan tidak menganggap dirinya berada
di atas orang lain dan tidak pula merasa bahwa orang lain yang butuh kepadanya.
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, seorang
ulama terkemuka ditanya tentang tawadhu’, maka beliau menjawab: “Ketundukan
kepada kebenaran dan memasrahkan diri kepada-Nya serta menerimanya dari
siapapun yang mengucapkannya.” (Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin, Beirut: Darul
Kutub al-Araby, jilid 2 hal. 314)
Tawadhu’ yang Dilarang
Bersikap tawadhu’ bukan berarti
menghinakan diri di hadapan orang lain. Karena tawadhu’ adalah sikap yang
tumbuh dari keilmuan seseorang terhadap Allah, nama-namaNya, sifat-sifatNya
serta dari rasa pengagungan dan kecintaan kepada-Nya. Yang dengan hal itu
seseorang bisa paham akan dirinya dan kelemahan-kelemahannya hingga tumbuh
sikap tawadhu’, yakni ketundukan hati kepada Allah dan sikap lemah lembut serta
kasih sayang terhadap orang lain. Tidak menganggap dirinya lebih tinggi dari
orang lain tapi menganggap orang lain lebih utama darinya. Sikap ini hanya
Allah berikan kepada orang-orang yang ia cintai dan muliakan.
Adapun sikap rendah diri adalah
pengorbanan diri demi meraih kenikmatan syahwat belaka. Seperti ketawadhuan
orang-orang rendahan dalam mendapatkan kenikmatan dunia semata. Seperti
tawadhu’nya orang yang mengharapkan jatah duniawi dari orang lain. Hal semacam
ini bukanlah tawadhu’ yang dicintai Allah. (Maushu’ah Nadhratunna’im fii
Makarimi Akhlaq ar-Rasul al-Karim, Darul Wasilah, jilid 4 hal. 1256)
Keutamaan-keutamaan Tawadhu’
Sebagaimana sifat terpuji lainnya,
tawadhu’ juga memiliki banyak keutamaan. Di antara keutamaannya adalah sebagai
berikut.
1. Tawadhu’ merupakan ciri khusus orang beriman
Allah ta’ala berfirman, yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,
maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang
mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan
Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (QS.
Al-Maidah: 54)
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu
Katsir rahimahullah berkata: “Inilah sifat-sifat orang beriman, yaitu dengan
bersikap tawadhu’ kepada saudaranya seiman, dan bersikap keras kepada musuhnya,
sebagaimana firman Allah ta’ala:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِيْنَ
مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّّارِ رُحَمَاءٌ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan
orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29) (Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur`an al-’Azhim, Riyadh: Maktabah Darus Salam, jilid 4 hal. 260)
2. Orang yang bersifat tawadhu’ akan diangkat derajatnya oleh Allah dan dicintai manusia
Sebagian orang tidak mau bersikap tawadhu’
karena beranggapan bahwa dengan bertawadhu’ akan menurunkan martabatnya di
hadapan manusia hingga menjadikannya dibenci dan dijauhi oleh manusia. Ini
adalah anggapan yang keliru atau mungkin anggapan seperti ini hanyalah alasan
yang digunakan oleh orang-orang sombong dalam membenarkan kesombongannya.
Karena sesungguhnya dengan bersikap tawadhu’, seseorang akan bertambah martabat
dan wibawanya. Nabi bersabda: “Dan tidaklah seseorang bertawadhu’ karena Allah
melainkan Allah akan meninggikannya.” (HR. Muslim no. 2588)
Tidak diragukan lagi bahwa orang yang
Allah angkat derajatnya, pasti akan dicintai manusia. Karena Allah
meninggikannya di hati mereka. Seorang Arab pernah menasihati anaknya:
أَلِنْ جَانِبَكَ لِقَوْمِكَ يُحِبُّوْكَ وَ تَوَاضَعْ لَهُمْ
يَرْفَعُوْكَ
“Berlemah lemah lembutlah kepada kaummu
niscaya mereka akan mencintaimu, dan rendahkanlah hati terhadap mereka, niscaya
mereka akan mengangkat derajatmu…” (Kitab Adab, Silsilah al-Lughah al-Arabiyah,
Universitas Muhammad
Ibn Su’ud al-Islamiyah, jilid 4 hal 33)
3. Orang yang tawadhu’ akan masuk surga
Sikap tawadhu’ yang menumbuhkan
akhlak-akhlak baik terhadap Allah dan makhluk-Nya, akan menjauhkan pelakunya
dari sikap sombong dan angkuh yang menyebabkan seseorang terjatuh ke lembah
neraka. Dengan demikian seseorang akan bisa masuk ke dalam surga. Allah ta’ala
berfirman:
تِلْكَ الدَّارُ الْأَخِرَةُ نَجْعَلُهَا
لِلَّذِيْنَ لَا يُرِيْدُوْنَ عُلُوًا فِيْ الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk
orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka)
bumi.” (QS. Al-Qashash: 83). Imam al-Qurthuby mengatakan: yang dimaksud
dengan negeri akhirat pada ayat ini adalah surga. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
Darul Kutub Al-Misriyah. jilid 6 hal 220)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الجنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ
مِنْ كِبْرٍ
“Tidak akan masuk surga orang yang dalam
hatinya terdapat kesombongan walau hanya sebutir atom.” (HR. Muslim no. 91)
Pengaruh Tawadhu’ terhadap Keharmonisan Hidup Bermasyarakat
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan
bahwa sikap tawadhu’ sangat berpengaruh terhadap keharmonisan hidup
bermasyarakat. Tidak hanya itu, ternyata tawadhu’ juga bisa menyebabkan
seseorang meraih kemenangan, yakni masuk surga. Maka dari itu marilah kita
berusaha untuk bersikap tawadhu’ dan tidak sombong. Sehingga dengan demikian
kita bisa menggapai keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dan bisa meraih
surga-Nya. Amin ya Rabbal ‘Alamin. ¶
Oleh : Slamet Nur Raharjo
0 komentar:
Posting Komentar