Segala puji bagi Allah yang senantiasa
memberikan nikmat-nikmat-Nya kepada kita. Salawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, yang
dengan wasilah beliau manusia mendapatkan hidayah untuk beribadah kepada Allah
dengan sebenar-benarnya. Merupakan kemuliaan dan keistimewaan yang besar bagi
agama Islam adalah dengan dijadikan agama ini sebagai agama yang sempurna,
satu-satunya agama yang diridai Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah ta’ala berfirman: “Pada hari
ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS.
Al-Maidah: 03)
Di antara bentuk keistimewaan agama ini adalah
bahwasanya syariat Islam memberikan kemudahan bagi pemeluknya untuk dapat
menjalankan amal ibadahnya, dalam situasi dan kondisi apapun. Sehingga seorang
muslim dapat saling meningkatkan kualitas dan kuantitas penghambaan diri mereka
kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengupas sedikit tentang bagaimana semangat generasi terdahulu dalam
meningkatkan amal dan berlomba dalam menjalankannya.
Perhatian Salaf terhadap Berlomba-lomba di dalam Ibadah
Perhatian salaf terhadap penghambaan diri
kepada Allah dan berlomba dalam meningkatkannya sangatlah besar. Sangat sulit
didapati orang yang seperti mereka di zaman kita sekarang ini. Tentang semangat
tersebut dapat kita temukan dari sumber-sumber riwayat yang sahih. Dimulai dari
para sahabat, untuk menunjukkan keseriusan dan kecintaan mereka dengan ibadah,
mereka senantiasa bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
tentang amal perbuatan yang paling mulia dan paling dicintai oleh Allah subhanahu
wa ta’ala. Setelah dijawab oleh Rasulullah, mereka pun tidak merasa puas
begitu saja dengan jawaban tersebut, namun mereka bertanya lagi dan lagi.
Beberapa hadis di bawah ini menerangkan semangat beribadah mereka.
Hadis Pertama: Dari Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّّهُ عَنْهُ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ:
الصَّلاَةُ عَلَى مِيْقَاتِهَا. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الوَالِدَيْنِ. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ. فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِيْ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata:
“Aku bertanya kepada Rasulullah: “Ya Rasulullah, amalan apa yang paling mulia?”
beliau menjawab: “Salat tepat pada waktunya.” Aku bertanya lagi: “Lalu apa
lagi?” Nabi menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi
“Kemudian apa?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.” Setelah itu Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam diam, seandainya aku meminta ditambah lagi,
niscaya beliau akan menambahkan lagi.” (HR. al-Bukhari)
Hadis Kedua: Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu,
أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ:
أَيُّ العَمَلِ أَفْضَلُ؟ فَقَالَ:
إِيْمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُوْلِهِ. قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: الجِهَادُ فِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ. قِيْلَ: ثُمَّ مَاذَا؟ قَالَ: حَجٌّ مَبْرُوْرٌ
Dari Abu Hurairah: Rasulullah pernah ditanya, amalan apa yang
paling mulia? Beliau menjawab: “Beriman kepada Allah dan Rasulnya.” Kemudian
ditanya lagi: “Lalu apa?” Beliau menjawab: “Jihad di jalan Allah.” Kemudian
ditanya lagi, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab: “Haji mabrur.” (HR. al-Bukhari)
Kecemburuan Sahabat dalam Perlombaan Ibadah
Kecemburuan yang indah adalah kecemburuan yang dilandasi dengan
iman dan takwa kepada Allah. Kecemburuan yang seperti inilah yang terpuji.
Sebagian dari kita bisa jadi ketika melihat saudaranya dalam keadaan lapang
hartanya, di hatinya ada perasaan menginginkan dan memiliki seperti apa yang
ada pada mereka. Akan tetapi cobalah kita lihat bagaimana iman para sahabat.
Ibadah mereka bukan sekedar dengan fisik akan tetapi harta pun akan mereka
korbankan hanya untuk mengabdikan diri kepada Allah azza wa jalla. Kita
simak pengaduan sahabat yang fakir kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tatkala kalah dalam sebuah perlombaan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ: أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُوْرِ بِاْلأُجُوْرِ، يُصَلُّوْنَ كَمَا نُصَلِّيْ، وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا نَصُوْمُ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ: أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ؟ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٍ بِالـمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٍ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ، وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Sesungguhnya
sebagian sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi:
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka
mengerjakan salat sebagaimana kami salat, mereka berpuasa sebagaimana kami
berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi bersabda:
“Bukankah Allah telah menjadikan bagi kalian sesuatu untuk bersedekah?
Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah,
tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah,
mencegah kemungkaran adalah sedekah dan persetubuhan salah seorang di antara
kalian (dengan istrinya) adalah sedekah.” (HR. Muslim)
Inilah di antara contoh antusias dan
perlombaan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menjalankan
penghambaan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah umat
terbaik yang Allah utus untuk mendampingi Nabi-Nya, namun hati mereka
senantiasa merasa tidak puas dengan apa yang telah mereka lakukan. Lantas
bagaimana dengan kita yang tidak ada jaminan kebaikan ini, apakah kita rela dan
ridha hanya dengan apa yang telah kita lakukan?!
Oleh karenanya, selama kekuatan, kesehatan,
dan kehidupan masih kita miliki apalah yang menghalangi untuk memperbaiki
kualitas dan kuantitas amal perbuatan kita? Padahal Allah subhanahu wa
ta’ala pernah berfirman dalam hadis qudsi mengenai kemuliaan ibadah
walaupun hanya yang bersifat sunah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah ta’ala telah berfirman: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya
Aku menyatakan perang terhadapnya. Hamba-Ku senantiasa (bertaqarrub)
mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (perbuatan) yang Aku sukai, seperti
bila ia melakukan yang fardhu yang Aku perintahkan kepadanya. Hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunah hingga Aku
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku menuntun pendengarannya
yang ia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat,
tangannya yang ia gunakan untuk memegang, dan kakinya yang ia gunakan untuk
berjalan. Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika
ia memohon perlindungan, pasti akan Aku berikan kepadanya.” (HR.
al-Bukhari)
Demikian pula, amalan yang dicintai Allah bukanlah amalan yang
besar akan tetapi hanya dilakukan sekali saja kemudian berhenti, tapi amalan
yang dicintai-Nya adalah amalan yang dilakukan secara terus-menerus walaupun
sedikit. Oleh karenanya, janganlah kita merasa sedih dan cemas, karena Allah
akan menerima dan memberikan pahala terhadap kebaikan sekecil apapun yang kita
lakukan. Allah ta’ala berirman: “Barangsiapa yang mengerjakan
kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat
(balasan)nya pula.” (QS. al-Zalzalah: 7-8)
Mudah-mudahan Allah senantiasa memudahkan dan memberi
taufik-Nya kepada kita dalam melakukan amal ibadah yang kita butuhkan sebagai
bekal menuju hari yang tidak berharga lagi harta kekayaan. ¶
Oleh : Yusuf Solihin
0 komentar:
Posting Komentar