UNTUK MENDAPATKAN BULETIN AL-IMAN DALAM BENTUK PDF KLIK TAHUN 1 TAHUN 2 TAHUN 3

Home » , , » Hakikat Sebuah Kebutuhan

Hakikat Sebuah Kebutuhan

Written By Unknown on Selasa, 14 Mei 2013 | 08.12




“Butuh”, itulah kata yang sudah terbiasa masuk ke telinga kita. Sederhana memang, namun siapa sangka di balik kata ini banyak orang yang rela mengorbankan seluruh waktunya. Dari yang bermanfaat sampai yang tidak bermanfaat sama sekali, dari perkara yang kecil sampai perkara yang besar, sehingga banyak di antara manusia yang lalai dan tidak memperhatikan batasan-batasan yang ada.

Satu hal yang sangat ironis, bahwa banyak di antara manusia yang tidak memahami makna kebutuhan, bahkan lebih dari itu juga tidak bisa membedakan makna kebutuhan dan makna keinginan. Sehingga mereka lebih sering mengedepankan hawa nafsu dari pada perasaan. Bahkan di dalam doa sekalipun, sering kali kita terbawa hawa nafsu ketika kita berdoa. Mengapa demikian? Karena kita lebih sering mendahulukan meminta keinginan kita daripada kebutuhan kita.


Kebutuhan Berbeda dengan Keinginan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادٍ مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنَّ لَهُ وَادِيًا آخَرَ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ
وَاللَّهُ يَتُوْبُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Andai kata anak Adam itu memiliki satu lembah emas, niscaya ia ingin memiliki satu lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi mulutnya melainkan tanah (maut), dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat kepada-Nya.” (HR. Muslim, no: 1738)

Keinginan manusia tidak terbatas, sementara itu kebutuhan manusia terbatas. Sebagai contoh, kebutuhan manusia akan makan dan minum cukup memenuhi gizi dan kalori saja, cukup sepiring nasi dan beberapa lauk pauk saja. Demikian juga dengan kebutuhan pakaian, cukup menutupi aurat dan melindungi badan dari panas dan dingin. Sementara kalau mengikuti keinginan, perut senantiasa ingin diisi sebanyak-banyaknya dengan makanan yang lezat, badan ingin mengenakan pakaian yang mewah, demikian juga keinginan tempat tinggal dan kendaraan. Tidak aneh jika di kota-kota besar banyak orang yang memiliki mobil dan rumah mewah.

 Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs). Mereka menyamakan keduanya dengan alasan jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan kelangkaan (scarcity). Hal ini sangat jelas dari teori ekonomi konvensional yang mengatakan bahwa ekonomi adalah perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dengan faktor produksi (sumber daya) yang terbatas. Inilah yang menjadi biang keladi berbagai kerusakan dan eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dengan prinsip ini pula dalam kasus ekonomi konvensional (kapitalisme) tidak ada distribusi kekayaan yang bersifat sosial, yang mendominasi adalah hak milik pribadi/individual, yang pada akhirnya menimbulkan sifat individualis, egois dan rakus. Itulah sebabnya kita menemukan banyak fenomena di mana segelintir orang bisa menghabiskan berjuta-juta rupiah dalam sehari. Sementara masih banyak orang yang mengalami kesulitan yang luar biasa untuk mendapatkan sesuap nasi. Prinsip ini jelas berbeda dengan Islam.

Arti Sebuah Kebutuhan

Kebutuhan (hajat) adalah suatu yang dibutuhkan manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal.

Karena ibadah kepada Allah adalah wajib, maka berusaha untuk memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi wajib juga, sebagaimana kaidah yang berlaku,

مَالَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya, maka dia wajib adanya.”
Inilah prinsip dasar dalam setiap aktivitas manusia menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

ﮠ  ﮡ  ﮢ  ﮣ  ﮤ  ﮥ     ﮦ  ﮧ  ﮨ   ﮩ  ﮪ  ﮫ    ﮬ  ﮭ  ﮮ  ﮯ  ﮱ  ﯓ   
ﯔ    ﯕ  ﯗ  ﯘ  ﯙ  ﯚ  ﯛ  آل عمران: ١٤


 “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)

Jika manusia selalu memperturutkan keinginannya, maka sama halnya memperturutkan hawa nafsunya. Padahal siapa saja yang memperturutkan hawa nafsunya, niscaya hal itu akan mendorong pada kejahatan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

  ﭒ  ﭓ  ﭔ  ﭖ  ﭗ  ﭘ  ﭙ  ﭚ      ﭛ  ﭜ    ﭝ  ﭟ     ﭠ  ﭡ  ﭢ   ﭣ  يوسف: ٥٣


“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53)
Lebih tegas lagi bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam menyebutkan tiga hal yang menjadi sumber kehancuran yaitu kikir yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti dan membanggakan diri (ujub).

Tingkatan Kebutuhan

Pertama, berada dalam batasan darurat yaitu tingkatan konsumsi manusia yang paling rendah dan ketika manusia berada dalam tingkatan ini, dia hanya mampu bertahan hidup dalam kelemahan dan kesusahan.
Kedua, tingkatan ekonomi yang tidak hanya didorong oleh usaha memenuhi kebutuhan semata, tapi juga untuk bertujuan bersenang-senang. Gaya hidup seperti  ini bisa menyeret pelakunya pada israf (berlebihan) yang merupakan larangan bagi seorang mukmin, yang pada akhirnya melalaikan manusia dari beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ketiga, yaitu keadaan yang berada di antara tingkatan yang pertama dan kedua. Gaya hidup ini yang paling sesuai dengan kaidah infak yaitu sederhana. Pada tingkatan ini, manusia bisa memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan layak dan mudah. Dengan demikian, kesempatan dan kemampuan untuk melaksanakan berbagai kewajibannya sebagai manusia sangat terbuka, baik kewajiban ibadah maupun kewajiban sosial.
Mudah-mudahan Alah menjadikan kita semua hamba-hamba yang banyak bersyukur, hamba-hamba yang selalu qana’ah atas apa-apa yang telah Allah berikan. 
Karena Allah memberikan apa yang kita butuhkan, bukan memberikan apa yang kita inginkan. Wallahu a’lam.   
Oleh :  Zainuddin Fathoni

0 komentar:

Buletin Terbaru

Radom Post

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS