“Butuh”, itulah kata yang sudah terbiasa masuk ke telinga kita.
Sederhana memang, namun siapa sangka di balik kata ini banyak orang yang rela
mengorbankan seluruh waktunya. Dari yang bermanfaat sampai yang tidak
bermanfaat sama sekali, dari perkara yang kecil sampai perkara yang besar,
sehingga banyak di antara manusia yang lalai dan tidak memperhatikan
batasan-batasan yang ada.
Satu hal yang sangat ironis, bahwa banyak di antara manusia yang
tidak memahami makna kebutuhan, bahkan lebih dari itu juga tidak bisa
membedakan makna kebutuhan dan makna keinginan. Sehingga mereka lebih sering
mengedepankan hawa nafsu dari pada perasaan. Bahkan di dalam doa sekalipun,
sering kali kita terbawa hawa nafsu ketika kita berdoa. Mengapa demikian?
Karena kita lebih sering mendahulukan meminta keinginan kita daripada kebutuhan
kita.
Kebutuhan Berbeda dengan Keinginan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادٍ مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنَّ لَهُ وَادِيًا آخَرَ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ
وَاللَّهُ يَتُوْبُ عَلَى مَنْ تَابَ
“Andai
kata anak Adam itu memiliki satu lembah emas, niscaya ia ingin memiliki satu
lembah lagi. Tidak ada yang dapat mengisi mulutnya melainkan tanah (maut), dan
Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat kepada-Nya.” (HR. Muslim, no: 1738)
Keinginan
manusia tidak terbatas, sementara itu kebutuhan manusia terbatas. Sebagai
contoh, kebutuhan manusia akan makan dan minum cukup memenuhi gizi dan kalori
saja, cukup sepiring nasi dan beberapa lauk pauk saja. Demikian juga dengan
kebutuhan pakaian, cukup menutupi aurat dan melindungi badan dari panas dan
dingin. Sementara kalau mengikuti keinginan, perut senantiasa ingin diisi
sebanyak-banyaknya dengan makanan yang lezat, badan ingin mengenakan pakaian
yang mewah, demikian juga keinginan tempat tinggal dan kendaraan. Tidak aneh
jika di kota-kota besar banyak orang yang memiliki mobil dan rumah mewah.
Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak
membedakan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs). Mereka
menyamakan keduanya dengan alasan jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan
kelangkaan (scarcity). Hal ini sangat jelas dari teori ekonomi
konvensional yang mengatakan bahwa ekonomi adalah perilaku manusia untuk
memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas dengan faktor produksi (sumber daya)
yang terbatas. Inilah yang menjadi biang keladi berbagai kerusakan dan
eksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Dengan prinsip ini pula
dalam kasus ekonomi konvensional (kapitalisme) tidak ada distribusi kekayaan
yang bersifat sosial, yang mendominasi adalah hak milik pribadi/individual,
yang pada akhirnya menimbulkan sifat individualis, egois dan rakus. Itulah
sebabnya kita menemukan banyak fenomena di mana segelintir orang bisa menghabiskan
berjuta-juta rupiah dalam sehari. Sementara masih banyak orang yang mengalami
kesulitan yang luar biasa untuk mendapatkan sesuap nasi. Prinsip ini jelas
berbeda dengan Islam.
Arti Sebuah Kebutuhan
Kebutuhan (hajat) adalah suatu yang dibutuhkan manusia dalam rangka
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya yaitu
menjalankan tugasnya sebagai hamba Allah dengan beribadah secara maksimal.
Karena ibadah kepada Allah adalah wajib, maka berusaha untuk
memenuhi kebutuhan agar kewajiban itu terlaksana dengan baik, hukumnya menjadi
wajib juga, sebagaimana kaidah yang berlaku,
مَالَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang tidak sempurna kewajiban kecuali dengannya,
maka dia wajib adanya.”
Inilah prinsip dasar dalam setiap aktivitas manusia menurut Islam,
yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu
ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia dengan hawa
nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam
diri manusia.
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﭽ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯﮰ ﮱ ﯓ
ﯔ ﯕﯖ ﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﭼ آل عمران: ١٤
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allahlah tempat
kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)
Jika manusia selalu memperturutkan keinginannya, maka sama halnya
memperturutkan hawa nafsunya. Padahal siapa saja yang memperturutkan hawa
nafsunya, niscaya hal itu akan mendorong pada kejahatan.
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﭽ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭼ يوسف: ٥٣
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyanyang.” (QS. Yusuf: 53)
Lebih tegas lagi bahwasanya Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam menyebutkan tiga hal yang menjadi sumber kehancuran yaitu kikir
yang diperturutkan, hawa nafsu yang diikuti dan membanggakan diri (ujub).
Tingkatan Kebutuhan
Pertama, berada dalam
batasan darurat yaitu tingkatan konsumsi manusia yang paling rendah dan ketika
manusia berada dalam tingkatan ini, dia hanya mampu bertahan hidup dalam
kelemahan dan kesusahan.
Kedua, tingkatan
ekonomi yang tidak hanya didorong oleh usaha memenuhi kebutuhan semata, tapi
juga untuk bertujuan bersenang-senang. Gaya hidup seperti ini bisa menyeret pelakunya pada israf
(berlebihan) yang merupakan larangan bagi seorang mukmin, yang pada akhirnya
melalaikan manusia dari beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ketiga, yaitu keadaan yang berada di antara tingkatan yang pertama dan
kedua. Gaya hidup ini yang paling sesuai dengan kaidah infak yaitu sederhana.
Pada tingkatan ini, manusia bisa memenuhi kebutuhan konsumsinya dengan layak
dan mudah. Dengan demikian, kesempatan dan kemampuan untuk melaksanakan
berbagai kewajibannya sebagai manusia sangat terbuka, baik kewajiban ibadah
maupun kewajiban sosial.
Mudah-mudahan
Alah menjadikan kita semua hamba-hamba yang banyak bersyukur, hamba-hamba yang
selalu qana’ah atas apa-apa yang telah Allah berikan.
Karena Allah
memberikan apa yang kita butuhkan, bukan memberikan apa yang kita inginkan.
Wallahu a’lam. ¶
Oleh
: Zainuddin Fathoni
0 komentar:
Posting Komentar