Pernahkah kita merasakan sesuatu yang kita
harapkan tidak tercapai? Apa yang kita rasakan ketika itu? Tentu rasanya
sungguh menyedihkan. Tidak sedikit di antara kita yang akhirnya menyalahkan
orang lain, atau bahkan menyalahkan Allah. Wal’iyadzubillah.
Oleh karena itu, sejenak kita renungkan
sebuah kaidah agung tentang indahnya keputusan Allah terhadap hamba-Nya dalam
firman-Nya:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik
bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu. Allah Maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. al-Baqarah:
216)
Juga dalam firman-Nya:
فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)
karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” (QS. an-Nisa’: 19)
Dalam surat al-Baqarah ayat 216 di atas, Allah menjelaskan
kewajiban jihad bagi setiap muslim. Tentunya ini merupakan hal yang berat
kecuali bagi mereka yang mendapatkan rahmat dari Allah. Karena jihad harus
mengorbankan jiwa dan harta benda. Terlebih luka fisik yang diderita setelah
peperangan membuat sebagian manusia takut untuk terjun ke medan perang. Namun
di balik ini semua, ada sebuah hikmah besar berupa kemuliaan dan pahala yang
besar di dunia dan di akhirat yang Allah janjikan.
Hal ini sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabat alami ketika perang Badar. Sungguh terjadinya perang
Badar merupakan pilihan yang berat bagi mereka. Karena tujuan mereka pergi ke
Badar adalah untuk menghalau rombongan dagang kaum Quraisy yang baru pulang
dari Syam dan bukan untuk berperang. Namun, mereka tetap pergi menghadapi kaum
Quraisy yang kekuatannya jauh lebih besar dari kekuatan yang dimiliki kaum
muslimin pada waktu itu. Allah subhanahu wa ta’ala menggambarkan kondisi mereka
dalam firman-Nya:
كَمَا أَخْرَجَكَ رَبُّكَ
مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكَارِهُونَ
يُجَادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَمَا
تَبَيَّنَ كَأَنَّمَا يُسَاقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ
“Sebagaimana Tuhan-mu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan
kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang beriman itu
tidak menyukainya. Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa
mereka pasti menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka
melihat (sebab-sebab kematian itu).” (QS. al-Anfal: 5-6)
Namun berkat pertolongan dari Allah, kaum muslimin dapat
mengalahkan pasukan Quraisy, dan Allah memberikan kepada mereka berupa
kemuliaan dan kehormatan setelah terjadinya perang ini.
Adapun dalam surat an-Nisa’ ayat 19 di atas berbicara mengenai
luka psikis yang terjadi akibat perceraian. Tentunya sebuah perceraian juga
merupakan hal yang pahit yang dialami oleh pasangan suami istri jika memang
ikatan pernikahan sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Dua ayat di atas menceritakan akan dua keadaan yang sulit yang
dilalui seseorang yaitu berupa luka fisik dan psikis. Namun di balik keduanya
Allah memiliki rencana yang terbaik bagi hamba-Nya yang mau bersabar dan
mengambil hikmah di balik setiap musibah. Tapi betapa banyak di antara kita
yang lalai akan hal ini dan hanya memandang dari satu sisi terjadinya suatu
musibah.
Contoh lainnya adalah kisah Nabi Musa ‘alaihissalam dan
Fir’aun. Ketika Fir’aun memerintahkan untuk membunuh seluruh bayi laki–laki
yang lahir, hal ini membuat ibu Nabi Musa bingung akan nasib anaknya. Akhirnya
dia memasukkan Nabi Musa ke dalam peti dan menghanyutkannya ke sungai sampai
akhirnya peti yang membawa beliau ditemukan oleh istri Fir’aun yang di kemudian
hari dia menjadikan Nabi Musa sebagai anggota dari keluarga mereka.
Apa yang dilakukan oleh ibu Nabi Musa tentunya merupakan sebuah perkara yang sangat
berat bagi seorang ibu. Bagaimana tega seorang ibu meletakkan anaknya, darah
dagingnya ke dalam peti kemudian menghanyutkannya ke dalam sungai guna
menghindar dari perintah penguasa yang zalim. Namun tak disangka bahwa kejadian
tersebut akhirnya berbuah manis. Ini tergambar melalui ujung ayat 216 dari
surat al-Baqarah di atas “Allah Maha mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.”
Kesimpulan dari semua ini adalah sesuai
dengan perkataan seorang penyair,
عَلى المَرْءِ أَنْ يَسْعَى إِلَى الخَيْرِ جُهْدَهُ
وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ تَتِمَّ المَقَاصِدُ
Seorang harus berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kebaikan
Bukan tugasnya untuk dapat menetapkan
baiknya keberhasilan
Seseorang sudah seharusnya
berserah diri kepada Allah secara total setelah berusaha sekuat tenaga dalam
menggapai kebaikan yang dia inginkan dan tidak berputus asa di dalamnya.
Sebagaimana yang Allah gambarkan dalam firman-Nya mengenai larangan
untuk berputus asa dalam menggapai rahmat-Nya tatkala menceritakan kisah Nabi
Yaqub ‘alaihissalam dan anak-anaknya.
Firman-Nya:
“Hai anak-anakku,
pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu
berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat
Allah, melainkan kaum yang kafir.” (QS. Yusuf: 87)
Jika nantinya kegagalan atau sesuatu yang diharapkan tidak
tercapai, maka sebaiknya ia menghadirkan kaidah indah ini yaitu firman Allah:
“Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 216)
Kemudian berusahalah untuk selalu berprasangka baik kepada
Allah. Karena bisa jadi kegagalan yang engkau alami adalah kebaikan bagimu, dan
bisa jadi keberhasilan dalam sebuah perkara yang engkau inginkan akibatnya
lebih buruk bagimu. Tidak ada yang mengetahui semua ini kecuali Allah, karena “Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
¶
Oleh : Dagi
0 komentar:
Posting Komentar