Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita
mendengar atau melihat papan pemberitahuan yang bertuliskan: “MALU BERTANYA
SESAT DI JALAN,” “BUDAYAKAN MALU”, “10 SIFAT MALU,” dll. Semua kata-kata ini
mengindikasikan bahwa sifat malu memang benar-benar sudah dikenal oleh semua
orang dan sudah sangat familier di telinga mereka. Akan tetapi, benarkah kita
sudah memahami serta menerapkan sifat malu dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah
rasa malu kita selama ini termasuk malu yang terpuji? Atau justru sebaliknya,
sifat malu kita tergolong sifat malu yang sangat tercela? Maka, pada kesempatan
kali ini, kita akan membahas seputar sifat malu, antara malu yang terpuji dan
malu yang tercela, faedah-faedahnya dan juga potret Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam mengaplikasikan sifat malu pada diri beliau yang
mulia. Selamat menyimak.
MALU ATAU MEMALUKAN?
Malu atau memalukan? Inilah yang sering
menjadi kesalahan sebagian besar orang dalam memahami serta menerapkan sifat
malu. Inginnya malu yang mulia dan berpahala, tapi pada kenyataannya justru
malah mendapat cela atau dosa. Lalu, bagaimanakah sebenarnya malu yang terpuji
itu?
Para ulama mendefinisikan malu yang terpuji
sebagai berikut: “Perilaku yang mendorong untuk meninggalkan perbuatan yang
buruk dan mencegah dari merugikan hak orang lain.” (Jam’iyyah Tabligh al-Islam,
Mukhtashar Riyadhus Shalihin, 72)
Jadi, malu yang terpuji adalah yang dapat
mendorong atau memotivasi kita untuk meninggalkan sesuatu yang jelek baik
sikap, perbuatan ataupun ucapan, yang hal itu dapat merugikan diri kita sendiri
maupun orang lain.
Contoh dari malu yang terpuji adalah, malu
bila tidak mengerjakan salat, berpuasa,
membayar zakat, berhaji padahal mampu, dan menutup aurat, malu bila berbuat
kezaliman dan maksiat, dll. Adapun contoh malu yang tercela di antaranya
adalah, malu bertanya padahal belum mengerti, malu dalam menegur kesalahan dan
memberi nasihat, berbuat kebajikan, bersedekah, berkata benar, dsb.
Dalam hal berkata benar, Allah ta’ala berfirman tentang
Rasul-Nya:
ﱭ © ﯚ «
¬ ® ﱬ
“Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS. al-Ahzab:
53)
Hal ini
dikarenakan kebenaran itu harus disampaikan dan diterangkan serta tidak boleh
disembunyikan hanya karena kita malu untuk melakukannya. Allahu a’lam.
FAEDAH
SEPUTAR SIFAT MALU
1.
|
Malu Merupakan Sumber Kebaikan
Sifat malu pada diri seorang mukmin
merupakan perhiasan bagi dirinya. Dengan perhiasan itulah dia akan menjadi
tampak lebih indah dan menawan, dan dengannya pula akan lahir banyak kebaikan
bagi dirinya maupun orang lain. Karena sifat malu pada diri seseorang adalah
sumber berbagai kebaikan.
Dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْـحَيَاءُ لاَ
يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Sifat malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan
kebaikan.” (Muttafaqun ‘alaih) Bahkan
dalam riwayat Muslim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Sifat malu itu semuanya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)
2.
|
Malu Adalah Sebagian dari Iman
Malu juga merupakan bagian dari sifat
keimanan, maka barangsiapa yang selalu menghiasi dirinya dengan sifat malu,
itulah bukti dari keimanannya. Adapun orang yang di dalam dirinya tidak
memiliki rasa malu terutama dalam melakukan suatu hal yang tidak pantas atau
bahkan perbuatan itu justru pada akhirnya akan berbuah kejelekan dan dosa, maka
hal tersebut menunjukkan akan kelemahan kadar keimanannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
الإِيْمَانُ بِضْعٌ
وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Iman itu terdiri dari enam puluh atau tujuh puluh sekian
cabang. Yang paling utama adalah kalimat la ilaha illallah, dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu juga
merupakan bagian dari iman.” (Muttafaqun ‘alaih)
3.
|
Malu Dapat Mencegah Seseorang dari Perbuatan Buruk
Begitulah pengaruh dari sifat malu pada diri
seseorang. Dengan sifat malu seseorang akan terdorong untuk meninggalkan
perbuatan jelek, keburukan dan dosa. Karena dia yakin bahwa Allah subhanahu
wa ta’ala senantiasa melihatnya, selalu mengawasinya dan mengetahui segala
perbuatannya, baik yang nampak secara kasatmata maupun yang tersembunyi di
dalam hati. Keutamaan sifat malu ini pun
merupakan perkara yang telah ma'ruf di kalangan orang-orang terdahulu
sejak zaman kenabian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ
تَسْتَحِ، فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya
di antara perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan kenabian yang
pertama adalah: “Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu”.” (HR.
al-Bukhari)
Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullahu, berkata: Ucapan
“Jika kamu tidak malu” mengandung dua makna, yakni:
Jika tidak ada padamu sifat malu, maka berbuatlah sesukamu.
Perintah di sini bermakna kabar; karena tidak ada sifat malu padanya, maka dia
melakukan perbuatan itu, baik dengan memperhatikan kepantasannya maupun tidak.
Jika perbuatan itu memang benar-benar tidak menimbulkan
rasa malu (yakin bahwa itu adalah kebaikan), maka hendaklah dia melakukannya
dan tidak memedulikan yang selainnya. (Syarh al-‘Arba’in an-Nawawiyyah,
230)
SIFAT
MALU RASULULLAH
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia
yang luar biasa ketinggian akhlaknya. Allah subhanahu wa ta’ala sendiri
yang telah memujinya dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam :
4). Dan di antara sifat teragung yang selalu mengiringi kehidupan beliau adalah
sifat malu.
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: “Adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sosok yang sangat pemalu, lebih pemalu
daripada gadis dalam pingitan. Jika ia melihat sesuatu dibenci, maka kami akan
mengetahuinya dari mimik mukanya.” (Muttafaq ‘alaih)
Maka pada
akhirnya, sudahkah sifat malu menghiasi diri kita? Semoga...
| Oleh : Muhammad
Yudo Agresi Akbari |
0 komentar:
Posting Komentar