UNTUK MENDAPATKAN BULETIN AL-IMAN DALAM BENTUK PDF KLIK TAHUN 1 TAHUN 2 TAHUN 3

Home » , , » BUDAYAKAN SIFAT MALU DI SETIAP LANGKAH HIDUPMU

BUDAYAKAN SIFAT MALU DI SETIAP LANGKAH HIDUPMU

Written By Unknown on Senin, 01 April 2013 | 08.15



Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita mendengar atau melihat papan pemberitahuan yang bertuliskan: “MALU BERTANYA SESAT DI JALAN,” “BUDAYAKAN MALU”, “10 SIFAT MALU,” dll. Semua kata-kata ini mengindikasikan bahwa sifat malu memang benar-benar sudah dikenal oleh semua orang dan sudah sangat familier di telinga mereka. Akan tetapi, benarkah kita sudah memahami serta menerapkan sifat malu dalam kehidupan kita sehari-hari? Apakah rasa malu kita selama ini termasuk malu yang terpuji? Atau justru sebaliknya, sifat malu kita tergolong sifat malu yang sangat tercela? Maka, pada kesempatan kali ini, kita akan membahas seputar sifat malu, antara malu yang terpuji dan malu yang tercela, faedah-faedahnya dan juga potret Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengaplikasikan sifat malu pada diri beliau yang mulia. Selamat menyimak.

MALU ATAU MEMALUKAN?
Malu atau memalukan? Inilah yang sering menjadi kesalahan sebagian besar orang dalam memahami serta menerapkan sifat malu. Inginnya malu yang mulia dan berpahala, tapi pada kenyataannya justru malah mendapat cela atau dosa. Lalu, bagaimanakah sebenarnya malu yang terpuji itu?
Para ulama mendefinisikan malu yang terpuji sebagai berikut: “Perilaku yang mendorong untuk meninggalkan perbuatan yang buruk dan mencegah dari merugikan hak orang lain.” (Jam’iyyah Tabligh al-Islam, Mukhtashar Riyadhus Shalihin, 72)
Jadi, malu yang terpuji adalah yang dapat mendorong atau memotivasi kita untuk meninggalkan sesuatu ­yang jelek baik sikap, perbuatan ataupun ucapan, yang hal itu dapat merugikan diri kita sendiri maupun orang lain.
Contoh dari malu yang terpuji adalah, malu bila tidak mengerjakan salat,  berpuasa, membayar zakat, berhaji padahal mampu, dan menutup aurat, malu bila berbuat kezaliman dan maksiat, dll. Adapun contoh malu yang tercela di antaranya adalah, malu bertanya padahal belum mengerti, malu dalam menegur kesalahan dan memberi nasihat, berbuat kebajikan, bersedekah, berkata benar, dsb.
Dalam hal berkata benar, Allah ta’ala berfirman tentang Rasul-Nya:
ﱭ © ﯚ « ¬ ® ﱬ
“Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (QS. al-Ahzab: 53)
Hal ini dikarenakan kebenaran itu harus disampaikan dan diterangkan serta tidak boleh disembunyikan hanya karena kita malu untuk melakukannya. Allahu a’lam.

FAEDAH SEPUTAR SIFAT MALU
1.
Malu Merupakan Sumber Kebaikan
Sifat malu pada diri seorang mukmin merupakan perhiasan bagi dirinya. Dengan perhiasan itulah dia akan menjadi tampak lebih indah dan menawan, dan dengannya pula akan lahir banyak kebaikan bagi dirinya maupun orang lain. Karena sifat malu pada diri seseorang adalah sumber berbagai kebaikan.
Dari ‘Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Sifat malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan.” (Muttafaqun ‘alaih) Bahkan dalam riwayat Muslim Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Sifat malu itu semuanya adalah kebaikan.” (HR. Muslim)
2.
Malu Adalah Sebagian dari Iman
Malu juga merupakan bagian dari sifat keimanan, maka barangsiapa yang selalu menghiasi dirinya dengan sifat malu, itulah bukti dari keimanannya. Adapun orang yang di dalam dirinya tidak memiliki rasa malu terutama dalam melakukan suatu hal yang tidak pantas atau bahkan perbuatan itu justru pada akhirnya akan berbuah kejelekan dan dosa, maka hal tersebut menunjukkan akan kelemahan kadar keimanannya.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَانِ
“Iman itu terdiri dari enam puluh atau tujuh puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah kalimat la ilaha illallah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu juga merupakan bagian dari iman.” (Muttafaqun ‘alaih)
3.
Malu Dapat Mencegah Seseorang dari Perbuatan Buruk
Begitulah pengaruh dari sifat malu pada diri seseorang. Dengan sifat malu seseorang akan terdorong untuk meninggalkan perbuatan jelek, keburukan dan dosa. Karena dia yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa melihatnya, selalu mengawasinya dan mengetahui segala perbuatannya, baik yang nampak secara kasatmata maupun yang tersembunyi di dalam hati. Keutamaan sifat malu ini pun  merupakan perkara yang telah ma'ruf di kalangan orang-orang terdahulu sejak zaman kenabian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ، فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya di antara perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: “Jika kamu tidak malu, maka berbuatlah sesukamu”.” (HR. al-Bukhari)
Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullahu, berkata: Ucapan “Jika kamu tidak malu” mengandung dua makna, yakni:
Jika tidak ada padamu sifat malu, maka berbuatlah sesukamu. Perintah di sini bermakna kabar; karena tidak ada sifat malu padanya, maka dia melakukan perbuatan itu, baik dengan memperhatikan kepantasannya maupun tidak.
Jika perbuatan itu memang benar-benar tidak menimbulkan rasa malu (yakin bahwa itu adalah kebaikan), maka hendaklah dia melakukannya dan tidak memedulikan yang selainnya. (Syarh al-‘Arba’in an-Nawawiyyah, 230)
SIFAT MALU RASULULLAH
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan manusia yang luar biasa ketinggian akhlaknya. Allah subhanahu wa ta’ala sendiri yang telah memujinya dalam firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam : 4). Dan di antara sifat teragung yang selalu mengiringi kehidupan beliau adalah sifat malu.
Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sosok yang sangat pemalu, lebih pemalu daripada gadis dalam pingitan. Jika ia melihat sesuatu dibenci, maka kami akan mengetahuinya dari mimik mukanya.” (Muttafaq ‘alaih)
Maka pada akhirnya, sudahkah sifat malu menghiasi diri kita? Semoga...
| Oleh :  Muhammad Yudo Agresi Akbari |


0 komentar:

Buletin Terbaru

Radom Post

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS