Banyak manusia yang telah beranjak dewasa atau bahkan telah lanjut usia tidak
memahami untuk apa mereka diciptakan di dunia ini. Yang mereka mengerti adalah
bagaimana mereka bisa hidup untuk hari ini, esok maupun di waktu mendatang.
Dengan segala daya upaya, mereka mengerahkan jiwa dan raganya untuk memperoleh
apa yang mereka inginkan demi kehidupan di dunia yang sedang mereka jalani tanpa
merenungi firman Allah ‘azza wa jalla:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku” (QS. adz-Dzariyat: 56)
Dunia telah menjadikan mereka lalai terhadap tujuan sebenarnya dari kehidupan
ini. Saat mereka terperosok ke dalam kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya,
semakin membuat mereka ingin terus-menerus menggalinya. Bak seorang di padang
pasir yang panas nan tandus, tatkala mendapatkan air ia meminumnya, kemudian
ingin lagi dan lagi, begitulah seterusnya. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah
menyiapkan bagi mereka kehidupan yang kekal di akhirat kelak dan mensifati
kehidupan di dunia ini layaknya sebuah perhiasan. Firman-Nya:
“Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah perhiasan dan sungguh akhiratlah
rumah yang kekal” (QS. Ghafir : 39)
Layaknya perhiasan, begitulah kehidupan dunia ini, ia hanya sebagai penghias
sesuatu, akan tetapi akhiratlah rumah yang kekal, di sanalah kita akan tinggal. Namun
begitulah manusia, pandangannya telah tertutupi oleh gemerlapnya perhiasan,
membuat mereka semakin ingin mendapatkan lebih dari apa yang telah mereka
dapatkan. Di antara perhiasan-perhiasan tersebut adalah harta dan anak. Maha benar
Allah subhanahu wa ta’ala yang telah berfirman:
“Ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu adalah cobaan, sesungguhnya Allah
memiliki pahala yang besar.” (QS. al-Anfal: 28)
Barangsiapa yang berhasil melewati cobaan-cobaan tersebut, maka Allah
subhanahu wa ta’ala telah menyiapkan pahala yang besar baginya. Dan sesungguhnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa dunia ini
layaknya tempat berteduh bagi musafir, yang kelak akan ditinggalkannya. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
“Perumpamaanku dengan dunia seperti pengendara yang beristirahat sejenak di
bawah pohon kemudian meninggalkannya.” (HR. Ahmad)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau penyeberang jalan”
(HR. al-Bukhari)
Itulah sebenarnya hakikat dunia ini, tiada lain hanyalah sebagai tempat bagi kita
semua untuk meneruskan perjalanan ke akhirat, maka beruntunglah orang-orang
yang mampu mengambil pelajaran darinya serta menjadikannya sebagai tempat untuk
menuju akhirat kelak.
Tidak selamanya kesenangan yang diperoleh di dunia ini adalah nikmat, akan
tetapi terkadang malah menjadi ujian dan cobaan bagi kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan:
“Apabila engkau mengetahui bahwa Allah ‘azza wa jalla memberi seorang hamba
sesuatu yang ia sukai dari dunia meskipun ia banyak bermaksiat, maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya itu adalah penangguhan.” (HR. Ahmad)
Cinta dunia membuat ketaatan seorang hamba menjadi berkurang, bahkan
berangsur-angsur menghilang. Wa na’udzubillah min dzalik. Ibadah pun akan
dilaksanakan sekedar menggugurkan kewajiban tanpa memiliki niat untuk
mendapatkan ridha dan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala. Seorang suami yang
memiliki tanggung jawab untuk menafkahi istrinya, memenuhi kewajiban terhadap
anak-anaknya pun dapat berpaling dan lari dari tanggung jawabnya, semua itu karena
cinta yang berlebihan terhadap dunia.
Dunia menjadikan seseorang semakin ingin memiliki lebih dari apa yang telah ia
dapatkan saat ini, sudah memiliki harta banyak ingin menambah lagi dan lagi tanpa
ada habisnya, hingga melalaikan waktu untuk menunaikan kewajiban-kewajiban
agama dan keluarga. Dan tidaklah kiamat menjadi dekat kecuali semakin bertambah
rasa cinta seorang hamba terhadap dunia ini.
“Tidaklah kiamat itu dekat melainkan keinginan manusia terhadap dunia semakin
bertambah, dan mereka semakin jauh dari Allah.” (HR. al-Hakim)
Berawal dari cinta dunia yang berlebihan, berbagai macam perbuatan dosa
bermunculan. Semakin bertambah cintanya terhadap dunia, maka semakin banyak
perbuatan dosa yang dilakukan, begitu pula sebaliknya.
Oleh karenanya, Yahya ibn Mu’adz rahimahullah berkata: “Tidaklah aku
memerintahkan kalian untuk meninggalkan dunia, akan tetapi aku memerintahkan
kalian untuk meninggalkan dosa-dosa, meninggalkan dunia merupakan sebuah
keutamaan, akan tetapi meninggalkan dosa-dosa adalah kewajiban, dan untuk
menegakkan kewajiban diperlukan kebaikan dan keutamaan.”
Semuanya kembali kepada niat kita masing-masing, barangsiapa yang
bersemangat dalam memperoleh dunia hanya untuk mengikuti hawa nafsunya, maka
ia termasuk orang-orang yang merugi, namun alangkah indahnya jika semangat dalam
menjalani kehidupan di dunia untuk menolong agama Allah subhanahu wa ta’ala,
karena Allah ta’ala pasti menolongnya untuk mendapatkan akhirat-Nya kelak.
Yahya bin Mu’adz rahimahullah berkata: “Bagaimana aku tidak cinta dunia,
sedangkan aku telah ditakdirkan menikmati berbagai makanan di dalamnya,
yang dengannya aku mampu hidup, taat beribadah dan dengannya pula aku
menggunakannya untuk mendapatkan surga.
Tak jarang banyak orang yang tertekan (stres) kemudian jatuh sakit akibat cinta
yang berlebihan terhadap dunia, memikirkan apa yang ingin mereka dapatkan namun
tidak kesampaian.
Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata: “Zuhud (lebih mementingkan
akhirat dari pada dunia) di dunia merupakan penenang hati dan badan.
Semoga Allah ‘azza wa jalla menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang
pandai bersyukur sehingga tidak berlebihan dalam perkara keduniawiaan. Wallahu
a’lam.
Sesungguhnya dunia itu fana dan tak kekal
Dunia bagaikan sebuah rumah laba-laba yang terajut tak kokoh
| Oleh : Hanif Arif |
0 komentar:
Posting Komentar