Imam Syafi’i merupakan salah satu ulama yang sangat masyhur bagi kaum muslimin di Indonesia,
bahkan di seluruh dunia. Namun, banyak juga di antara kita yang belum tahu tentang biografi beliau.
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini kita akan membahas biografi beliau secara singkat. Semoga
bermanfaat.
Nama dan Nasab
Nama dan Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Sa’ib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin Abdi Manaf bin Qushay al-Qurasyi asy-Syafi’i al-Makki. Beliau bertemu nasabnya dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada Abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah yang ketiga.
Kelahiran Beliau lahir pada tahun 150 H, yang merupakan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di ‘Asqalan. Keteika memasuki usia 2 tahun, ibunya membawanya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang terdiri dari orang-orang Yaman, karena ibunya dari suku Azdiyah.
Pertumbuhan dan Kegiatan Menuntut Ilmu
Beliau tumbuh di negeri Ghazzah sebagai seorang yatim setelah ayahnya meninggal, sehingga
berkumpullah pada dirinya kefakiran, keyatiman, dan keterasingan dari keluarganya. Namun, kondisi
tersebut tidak menjadikannya lemah dalam mengarungi kehidupan, setelah Allah memberinya taufik untuk menempuh jalan yang benar.
Dengan kasih sayang, sang ibu membawanya ke tanah Hijaz, yaitu kota Makkah atau tempat dekat
Makkah. Imam Syafi’i mulai menghafal al-Qur’an sehingga beliau menghafalnya secara sempurna pada usia 7 tahun. Setelah menghafal al-Qur’an, beliau hadir di masjid dan berkumpul bersama para ulama untuk menghafal hadits dan permasalahan agama. Beliau sangat tekun dalam belajar, sehingga beliau hafal al-Qur’an pada usia 7 tahun dan hafal kitab al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 10 tahun.
Pada saat berusia 15 (atau 18) tahun, beliau berfatwa setelah mendapat izin dari gurunya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji. Walaupun berbahasa arab, beliau juga belajar bahasa Arab kepada suku Hudzail dan menghafal syair-syairnya.
Setelah menghafal kitab al-Muwaththa’, beliau pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam
Malik. Mukim beliau di Madinah tidaklah terus-menerus melainkan diselingi dengan kepulangannya ke Makkah untuk bertemu ibunya. Dalam kepulangannya, beliau menyempatkan diri untuk mendengar syair- syair suku Hudzail dan belajar kepada ulama Makkah. Beliau belajar di Madinah, sampai wafatnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sekembalinya dari Madinah, beliau sibuk dengan ilmunya. Sekalipun ia tidak mampu membeli
kitab-kitab karena miskin, namun karena kecintaannya terhadap ilmu sangat besar beliau menulis ilmu-ilmu yang diperoleh pada sesuatu yang bisa ditulisi. Begitulah sifat para ulama yang telah dianugerahi oleh Allah kelezatan meraih ilmu. Mereka tidak akan pernah puas dengan ilmu yang dimilikinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah menyatakan hal itu dalam haditsnya:
“Dua orang rakus yang tidak pernah kenyang: pencari ilmu dan pencari dunia.” (HR ad-Darimi, hadits shahih sesuai kriteria al-Bukhari dan Muslim)
Hausnya terhadap ilmu dan karena kemiskinan, beliau pun pergi ke Yaman untuk belajar sambil
bekerja. Ketika prestasinya baik, beliau diberi pekerjaan tambahan, namun beliau senantiasa mencari
celah untuh meraih ilmu hingga akhirnya mendapat fitnah (yaitu berupa tuduhan dusta bahwa beliau
memberontak kepada khalifah Harun ar-Rasyid). Beliau di usir ke Irak dalam keadaan diikat dengan rantai, dan disiksa sepanjang perjalanan menuju Irak, hingga akhirnya Allah menyelamatkan dari fitnah tersebut.
Beliau tinggal untuk sementara waktu di Irak untuk menuntut ilmu kepada para ulama yang ada di negara tersebut. Sepulangnya dari Irak, beliau mulai mengajar di Makkah, tempatnya belajar dulu. Pada musim haji, beliau ditemui oleh banyak ulama. Mereka kagum terhadap keluasan ilmunya dan kekuatannya dalam menggunakan dalil, serta keteguhannya dalam mengikuti sunnah, juga kedalamannya dalam ilmu fiqih dan istinbath (penyimpulan) hukum. Mereka juga kagum terhadap ushul dan kaidah-kaidah fiqih yang telah dibuatnya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Hingga hampir 9 tahun, Imam Syafi’i mengadakan majelis pengajian (halaqah) di Makkah, kemudian pergi ke Irak yang kedua kalinya pada tahun 195 H. Beliau tinggal di Baghdad selama 2 tahun, pergi ke Makkah lalu datang lagi pada tahun 198 H dan tinggal di sana selama beberapa bulan, setelah itu ia pergi ke Mesir.
Kepergian beliau dari Irak untuk selamanya ini, karena terjadinya musibah yang menimpah
pemerintah kaum muslimin, yaitu telah dikuasainya khalifah al-Ma’mun oleh ahli ilmu kalam (filsafat), sehingga tersebarlah bid’ah dan matilah sunnah. Sesampainya di negeri Mesir, beliau pergi masjid ‘Amr bin al-‘Ash dan untuk pertama kalinya beliau menyampaikan kajian di masjid tersebut. Beliau disibukkan oleh belajar, mengajar dan berdakwah di negeri Mesir sampai wafatnya.
Guru-guru dan Murid-murid
Guru-guru dan Murid-murid Beliau mengambil banyak ilmu dari para ulama di berbagai tempat pada zamannya, di antaranya di Makkah, Madinah, Yaman, Kufah, Bashrah, Syam, dan Mesir. Sebagaimana hal itu telah disebutkan oleh al- Baihaqi, Ibnu Katsir, al-Mizzy, dan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah.
Adapun murid-murid beliau, sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Baihaqi, al-Hafizh al-Mizzy,
dan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, bahwa orang-orang yang mengambil ilmu dari Imam Syafi’i sangat banyak sekali, sehingga tidak ada yang dapat menghitung jumlahnya kecuali hanya Allah saja, karena setiap beliau datang ke suatu negeri dan beliau menyebarkan ilmunya, beliau didatangi oleh banyak orang untuk belajar.
Karya-Karya
Para ulama telah menyebutkan karya beliau yang tidak sedikit, di antaranya adalah: al-Umm, ar-
Risalah, al-Musnad, Mihnatu asy-Syafi’i, Ahkam al-Qur’an, dan lain sebagainya. Sebagian karya beliau hilang dan sebagian yang lain lagi dihimpun oleh beberapa orang dari kalangan asy-Syafi’iyah (ulama-ulama yang mengikuti Imam Syafi’i dalam ilmu fiqih).
Kata Mutiara Banyak sekali perkataan-perkataan beliau yang ditulis oleh beliau ataupun oleh ulama-ulama yang lain, di antaranya ialah:
“Ilmu itu tidaklah indah kecuali dengan tiga perkara, yaitu: takwa kepada Allah, sesuai dengan
sunnah, dan rasa takut.” (Manaqib Syafi’i, oleh al-Baihaqi)
“Apabila kalian menjumpai dalam kitabku hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berpendapatlah kalian dengan sunnah Rasulullah, dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (al-Majmu’ oleh an-Nawawi)
“Setiap permasalahan yang berkenaan dengannya, ada hadits shahih dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut para ahli periwayatan (hadits), dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku menarik kembali perkataanku, baik ketika aku masih hidup maupun setelah aku mati.” (I’lamu al-Muwaqqi’in oleh Ibnu al-Qayyim)
Beliau berkata dalam bait syairnya:
Hakikat seorang faqih (paham agama) itu dengan perbuatannya Bukan sekedar dengan ucapan dan kata-katanya Seorang pemimpin adalah diukur dengan akhlaknya Tidak diukur dengan kaum dan jumlah masanya. Demikian pula orang yang kaya itu kaya dengan keadaan jiwanya
Bukan kaya dengan kekuasaan dan hartanya (Diwan al-Imam asy-Syafi’i hal. 97)
Wafat
Wafat Di akhir hayatnya, Imam Syafi’i sibuk berdakwah, menyebarkan ilmu, dan menulis. Beliau terkenapenyakit wasir yang menyebabkan keluarnya darah. Namun, penyakit tersebut tidak menghalanginya dari melakukan pekerjaannya tersebut, karena kecintaan beliau terhadap ilmu agama. Hal itu terjadi sampai beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H. Semoga Allah memberikan rahmat yang luas kepadanya.
Semoga dengan risalah yang singkat ini bisa mendekatkan pemahaman kita terhadap biografi
beliau, dan semoga semangat beliau dalam mencari ilmu dan menyebarkannya dapat memberikan motivasi bagi kita, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amin.
Oleh: Abu Hisyam Liadi
0 komentar:
Posting Komentar