Ada beberapa permasalahan penting yang harus diperhatikan seorang hamba dalam
beramal shalih atau beribadah kepada Allah ta’ala. Beberapa poin tersebut begitu berharga
karena berkaitan dengan diterima tidaknya amal ibadahnya. Demikian pula berkaitan erat
dengan kesempurnaan pahala yang akan ia dapatkan di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.
Maka itu, siapa yang ingin ibadahnya diterima dan mendapatkan kesempurnaan pahala,
hendaknya ia memperhatikan beberapa permasalahan tersebut. Berikut di antaranya.
1). BERIMAN KEPADA ALLAH
Keimanan merupakan pondasi dasar diterimanya amal ibadah seorang hamba.
Tanpanya, ibadah yang ia kerjakan tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Yang Maha Kuasa,
sebanyak apapun ia melakukannya. Coba perhatikan firman Allah ta’ala berikut:
“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya Kami akan berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97)
Pada ayat mulia di atas, Allah ta’ala mensyaratkan bagi orang yang beramal harus
dalam keadaan beriman. Jadi, ibadah non muslim -dimana yang telah menciptakannya dan
memberikan segala kenikmatan kepadanya adalah Allah- tidak akan diterima oleh Allah
ta’ala dan tidak bernilai ibadah yang dapat mendatangkan pahala di akhirat kelak.
Amalannya akan sia-sia di sisi Allah ta’ala.
Aisyah radhiyallahu 'anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam: "Wahai Rasulullah, Ibnu Jud'an pada masa Jahiliyah dahulu menyambung tali
silaturahmi dan memberi makan orang miskin, apakah amalan tersebut bermanfaat
baginya? "Beliau menjawab:
“Semua itu tidak bermanfaat baginya, karena ia tidak pernah berkata dalam harinya: ‘Ya
Allah, ampunilah kesalahanku pada hari kiamat kelak’.” (HR. Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maksudnya ia tidak membenarkan
adanya hari kiamat, barang siapa yang tidak membenarkannya maka ia kafir dan amalannya
tidak bermanfaat baginya.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah menuturkan, “Telah sah ijma’ bahwa amal ibadah
orang kuffar tidak akan bermanfaat bagi mereka.” (Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim)
2). NIAT SHALIHAH
Niat yang baik merupakan salah satu dasar terpenting dalam beramal. Amal ibadah
mulia seorang hamba akan diterima oleh Allah ta’ala apabila didasari niat yang baik. Niat
baik yang dimaksud adalah ikhlas dalam beribadah, yakni memurnikan ibadah hanya kepada
Allah semata, mengharap wajah Allah, tidak mengharap pujian dan sanjungan dari manusia
(riya’), dan tidak pula mengotorinya dengan kesyirikan, yakni ibadah tersebut dialamatkan
kepada selain Allah subhanahu wa ta'ala. Allah ta’ala berfirman:
“Mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya amalan itu tergantung pada niatnya, dan tiap-tiap orang akan
mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan niat, amalan kecil bisa menjadi agung, begitu pula sebaliknya. Ulama salaf
berkata:
Betapa banyak amalan kecil namun menjadi agung dikarenakan niat, betapa banyak pula
amalan besar menjadi kecil karena niatnya.
3). MUTABA’AH
Di antara kaedah mendasar dalam beramal yang tak kalah pentingnya adalah
mutaba’ah. Mutaba’ah atau ittiba’ artinya mengikuti atau mencontoh ibadah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mendefinisikan
mutaba’ah dengan ucapan:
Mengerjakan ibadah sebagaimana yang dikerjakan Nabi sesuai dengan tata cara yang beliau
contohkan.
Bila seorang ingin ibadahnya diterima oleh Allah subhanahu wa ta'ala maka
hendaknya ia memperhatikan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
beribadah. Ulama menjelaskan bahwa mutaba’ah adalah salah satu syarat diterimanya
ibadah seorang hamba.
Inilah kewajiban seorang hamba. Selain wajib taat kepada Allah, dia juga wajib
menaati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena ketaatan kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan bentuk ketaatan kepada Allah. Allah subhanahu wa
ta'ala berfirman:
“Barangsiapa yang menaati Rasul (Muhammad), sesungguhnya ia telah menaati Allah.”
(QS. an-Nisa’: 80)
Allah ta’ala memerintahkan kita untuk menaati Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam. Firman-Nya:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr: 7)
Bila seorang beribadah dengan tata cara yang tidak dicontohkan maka ibadahnya
akan tertolak. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan tidak atas perintah kami maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
Ketiga hal ini -beriman kepada Allah, niat shalihah, dan mutaba’ah- merupakan tiga
syarat diterimanya ibadah seorang hamba. Bila salah satunya hilang, maka ibadahnya tidak
akan diterima oleh Allah ta’ala. Maka camkanlah!
4). ANTUSIAS DALAM MENGERJAKAN AMALAN UTAMA
Di antara antusias para sahabat dalam menuntut ilmu kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam adalah bertanya tentang amalan-amalan yang paling utama. Dalam
beberapa riwayat yang berderajat shahih, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menjelaskan beberapa amalan utama, di antaranya shalat tepat waktu, berbakti kepada
orang tua, berjihad di jalan Allah, beriman kepada Allah, haji mabrur, dan membahagiakan
orang lain.
Di antara perkara yang harus diperhatikan dan dikerjakan adalah rukun Islam yang
lima, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan naik haji bila mampu. Hendaknya kelima
rukun tersebut diperhatikan guna kesempurnaan keislaman seseorang.
5). MENGUTAMAKAN AMALAN WAJIB KEMUDIAN AMALAN SUNNAH
Beribadah dengan amalan wajib merupakan cara mendekatkan diri yang paling
Allah cintai. Hal ini tercermin pada hadits qudsi riwayat Bukhari. Allah ta’ala berfirman:
“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai
dari pada amalan-amalan yang telah aku wajibkan kepadanya.” (HR. Bukhari)
Abu Bakar berwasiat kepada Umar radhiyallahu 'anhuma:
Ketahuilah, bahwasanya Allah mensyariatkan amalan siang hari yang tidak akan diterima
bila dikerjakan malam hari, dan amalan malam hari yang tidak akan diterima bila dikerjakan
di siang hari, dan bahwasanya Dia tidak akan menerima amalan sunnah hingga amalan wajib
dilaksanakan terlebih dahulu. (Tajrid al-Ittiba’, Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili)
Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu berkata:
Sebaik-baik amalan adalah melaksanakan apa-apa yang Allah wajibkan.
6). ISTIQOMAH DALAM BERAMAL
Di antara amalan yang paling dicintai Allah adalah istiqomah dalam mengerjakan
suatu amalan. Istiqomah dalam beramal berarti kontinyu atau terus menerus
melakukannya, meskipun hanya sedikit. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Amalan yang paling dicintai Allah ta’ala adalah yang dikerjakan secara berkesinambungan
meskipun hanya sedikit.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di antara faedah bagi seorang hamba yang senantiasa mengerjakan amalan sunnah
adalah, sebagaimana yang dijelaskan Allah ta’ala di dalam hadits qudsi. Allah ta’ala
berfirman:
“Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah
hingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka aku akan menuntun
pendengarannya yang ia mendengar dengannya, menuntun pandangannya yang ia
memandang dengannya, menuntun tangannya yang ia memegang dengannya, dan
menuntun kakinya yang ia berjalan dengannya. Apabila ia meminta kepada-Ku niscaya akan
Aku perkenankan, dan apabila ia memohon perlindungan kepada-Ku pasti akan Aku beri
perlindungan.” (HR. Bukhari)
(Oleh: M. Sulhan Jauhari)
0 komentar:
Posting Komentar