UNTUK MENDAPATKAN BULETIN AL-IMAN DALAM BENTUK PDF KLIK TAHUN 1 TAHUN 2 TAHUN 3

Home » , , » PENGARUH KHUSYU’ TERHADAP IBADAH

PENGARUH KHUSYU’ TERHADAP IBADAH

Written By Unknown on Rabu, 13 Februari 2013 | 07.13




Khusyu’ merupakan perkara besar dalam agama ini, namun kenyataanya sulit
direalisasikan, karena hal itu memerlukan kesungguhan, kesabaran dan latihan. Orang yang
khusyu’ akan merasa tenang, tentram dan bahagia dunia akhirat. Oleh karena itu Nabi n selalu
meminta perlindungan kepada Allah ta’ala dari hati yang tidak khusyu’. Beliau n bersabda:

“Ya Allah aku berlindung kepadaamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyu’,
jiwa yang tidak pernah kenyang (puas), dan doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722)

Hadits ini menjelasakan bahwa hati yang tidak khusyu’, ilmunya tidak bermanfa’at,
suaranya tidak didengar, do’anya tidak di kabulkan. Sebab hati tersebut lalai dan tersibukan
dengan perkara dunia, akibatnya manusia sulit untuk khusyu’.
Lebih dari itu, khusyu’ merupakan perkara pertama yang akan diangkat dari diri
manusia. Sebagaimana pernah disabdakan Nabi n dalam hadits shahih, riwayat ath-Thabrani
(dalam al-Mu’jam al-Kabir no. 7183):

“Sesungguhnya perkara yang pertama kali dicabut dari manusia adalah kekhusyuan.”

PENGERTIAN KHUSYU’
Secara bahasa Khusyu’ dalam bahasa arab berarti merendah, tunduk, dan tenang.
Sebagaimana firman Allah azza wa jalla:
“Dan khusyu’lah semua suara kepada Tuhan yang Maha pemurah, maka kamu tidak
mendengar kecuali bisikan saja.” (QS. Toha: 108)

Adapun secara syar’i, banyak sekali ulama yang telah mendifinisikan arti khusyu’,
namun kita cukupkan dengan tiga definisi:

1) Konsekuen dalam beramal yaitu melakukan ketaatan kepada Allah secara kontinyu dan
meninggalkan maksiat.
2) Kondisi jiwa yang tenang sehingga nampak pada anggota badan ketenangan dan
ketentraman.
3) Hati berdiri dihadapan Rabb-nya dalam kondisi tunduk dan hina.

Itulah khusyu’ menurut Syariat, yaitu prilaku yang susuai sunnah, yang terhimpun
di dalamnya ketundukan dan kepatuhan kepada Allah Tuhan semesta alam, serta berisikan
pengagungan, kecintaan dan ketenangan kepada kebenaran yang nyata.

PERBEDAAN KHUSYU’ DAN KHUDHU’
Khusyu’ dekat dengan kata khudhu’ (tunduk), hanya saja khudhu’ itu lebih dikhususkan
untuk jasmani, sedangkan khusyu’ menata angota tubuh seluruhnya.

KHUSYU’ DALAM SHALAT
Allah Rabbul Alamin telah mensyariatkan bagi hamba-Nya berbagai macam pintu
ibadah, di antaranya ada yang bisa dilihat dari kekhusyu’an jasmani sebagai akibat dari
khusunya hati, ketundukan dan kelunakannya. Di antara yang paling utama dalam hal itu
adalah shalat, yang mana Allah ta’ala memuji orang-orang yang khusyu di dalam shalatnya:

“Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
shalatnya.” (QS. al-Mu’minun: 1-2)
Kusyu’ dalam shalat hanya akan didapatkan oleh orang yang konsentrasi hanya untuk
shalat, sibuk dengannya tidak dengan selainnya, lebih mendahulukanya atas yang lainnya.
Ketika itulah ia akan mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, sebagaimana yang pernah
disabdakan Nabi n:

“Dan shalat itu dijadikan sebagai penyejuk hatiku.” (HR. Ahmad III/128 dan Nasa`i VII/61)

PENGARUH KHUSYU’ TERHADAP IBADAH DAN BAGI HAMBA ITU SENDIRI
1. Semangat untuk beramal.
Khusyu’ memotivasi hidup untuk beramal, sehingga bisa mendatangkan hasil yang
diharapkan dan maksud yang diinginkan. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah azza wa
jalla:

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan Sesungguhnya yang demikian itu
sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. al-Baqoroh: 45)
Shalat yang diperintahkan Allah ta’ala untuk meminta pertolongan darinya yaitu shalat
yang khusyu’. Hal ini menunjukan bahwa kusyu’lah yang menjadikan shalat sebagai media
untuk meminta pertolongan, lalu shalat tersebut menghasilkan tujuan yang diharapkan.
Shalat itu sulit dan berat bagi hati yang tidak khusyu’, akan tetapi jika hati khusyu`,
maka ia tidak akan merasa berat, malas ataupun lemah.

2. Ibadah menjadi hal yang dicintai seorang muslim.
Jika hati kehilangan kekhusyu’an, maka ibadah menjadi berat bagi jiwa. Hal ini senada
dengan sabda Rasulullah n:

“Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang munafik dari pada shalat subuh dan isya,
seandainya mereka mengetahui keutamaan yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan
mendatanginya walau dalam keadaan merangkak.” (Muttafaq alaihi)
Hal itu disebabkan karena mereka tidak memiliki kekhusyu`an, dan yang tampak
adalah kekhusyuan nifaq (kemunafikan) di hadapan manusia. Karena riya` ada dalam shalat-
shalat lain, sedangkan dalam shalat shubuh dan isya’, yang dianggap bahwa tidak ada orang
lain yang melihat mereka, maka hal itu terasa berat atas mereka. Dan merekapun tidak
melakukan shalat kecuali bermalas-malasan.
Tetapi seorang muslim yang hatinya khusyu’ kepada Allah ta’ala, ia tahu bahwa
Allah azza wa jalla selalu menyertainya, baik dalam kesendirianya maupun di tengah-tengah
manusia. Ia beribadah kepada Allah seolah–olah ia melihat-Nya, meskipun ia tidak melihat-
Nya, namun ia yakin bahwa Allah pasti melihatnya.
Karena itu, ia bersemangat untuk mentaati Rabb-nya. Nafsunya tunduk ketika
merasakan nikmatnya bermunajat dengan-Nya, sebab ia yakin akan perjumpaan dengan Rabb-
nya, dan ia juga pasti akan kembali kepada-Nya.

3. Bersegera menuju kebenaran dan mendakwahkanya.
Allah azza wa jalla berfirman:
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu
lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (al-Qur`an) yang telah
mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah
beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran al-
Qur`an dan kenabian Muhammad). Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan
kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami
memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang shalih ?". (QS. al-Maidah: 83-84)
Ayat ini menjelaskan suatu kenyataan tentang segolongan kaum beriman yang
bergoncang perasaan dan hati mereka, lalu mata mereka mengalirkan air mata karena
mengetahui kebenaran. Mereka maju untuk mengambil sikap positif dan menerima
kebenaran, mengimaninya, tunduk kepada kekuasaan-Nya.

4. Mengerahkan potensi dan menyatukan arah tujuan.
Allah menerangkan di dalam al-Quran surat al-Haj ayat 34-35 tentang kondisi orang
khusyu`, yang akan menyatukan perasaan dan tujuan, dimana semuanya menuju kepada Allah
ta’ala. Dengan demikian dapat mengarahkan amal, aktifitas, dan ibadah kepada satu tujuan
menjadi sempurna. Dengan itulah kehidupan seluruhnya terhiasi dengan warna keimanan.

5. Menghidupkan umat dan memenangkanya.
“Sesungguhnya Allah menolong umat ini dengan perantara kaum lemahnya: dengan do’a,
shalat, dan keikhlasan mereka.” (Shohih at-targib wa tarhib 1/6)

Demikianlah Rasulullah n yang mulia mengikrarkan bahwa khusyu’ -berikut unsur-
unsurnya seperti do’a yang merendah, shalat yang khusyu’ dan keikhlasan- adalah sebab
kemenangan umat atas para musuhnya, karena ia dapat menyatukan potensi dan tujuan.
Sehingga umat kembali memiliki kekuatan dan kekuasaan yang dikendalian oleh satu
kepemimpinan.

6. Terkabulnya doa.
Orang-orang yang lemah lagi hina di muka bumi, yang dianiaya oleh para tiran, mereka
adalah salah satu faktor kejayaan umat ini, karena ia mendoakan kemenangan, keteguhan, dan
kejayaan bagi umat. Kemudian Allah mengabulkan doa mereka, karena hati mereka terhubung
dengan Rabb-nya.
Oleh karena itu mereka memohon kemenangan kepada Allah, dengan disertai
keyakinan akan dikabulkan. Juga sebagai bentuk pengamalan akan sabda panutan mereka
kepada kebenaran. Nabi n bersabda:

“Berdoalah kalian dalam keadaan yakin akan dikabulkannya doa. Ketahulah bahwasanya Allah
tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lengah dan lalai.” (Hadits hasan. Shahih al-Jami’
no. 245)
Karena itu khusyu’ amatlah penting bagi seorang hamba, agar bisa merasakan manis
dan lezatnya beribadah kepada Allah ta’ala. Maka sepatutnya kita mengawasi diri dari waktu
ke waktu, juga mengingatkan, menasehati, dan memperingatkan saudara-saudara kita, sebab
kekhusyu’an itu sangat mudah hilang dari diri kita, karena ia adalah perkara pertama yang
dicabut dari umat ini. Wallahu ta’ala ‘alam.

(Oleh: Ahmad Taufik)

0 komentar:

Buletin Terbaru

Radom Post

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Like us on Facebook
Follow us on Twitter
Recommend us on Google Plus
Subscribe me on RSS