Salah satu nikmat terbesar yang diturunkan kepada manusia adalah diutusnya Nabi
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira bagi
semesta alam. Menjadi suri tauladan yang baik dalam segala aspek kehidupan, ketaatan kepada
beliau merupakan kewajiban, dan durhaka kepada beliau merupakan bentuk kemaksiatan dan
kedurhakaan kepada Allah. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan:
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka”. (QS. an-Nisa’: 80)
Setiap muslim pasti mengatakan bahwa dirinya mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam. Pertanyaannya, sudahkah kehidupannya sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah?.
Dalam kesempatan ini penulis sedikit akan mencoba mengutarakan kepada sidang pembaca
bagaimana bukti kecintaan kita kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dengan sebenarnya.
Gambaran Cinta Kepada Rasul
Pengakuan seseorang terhadap sesuatu tidaklah bisa dibenarkan secara mutlak. Hal itu
bisa dibenarkan apabila ada bukti yang menguatkannya. Begitupun bagi kita, mengaku cinta
kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila perbuatan kita keluar atau bahkan
menyelisihi perintah beliau, apakah hal itu dapat dikatakan cinta terhadap Rasulullah? Tidak!
Sekali lagi tidak!!. Seorang penyair pernah berkata:
Sekiranya cintamu itu tulus, maka engkau akan mentaatinya
Karena orang yang mencintai akan mematuhi yang dicintainya
Ketika mensyarah hadits Jibril, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menerangkan
konsekwensi cinta kepada Rasul meliputi beberapa hal, diantaranya:
Pertama: Membenarkan segala yang dikabarkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
tanpa ragu sedikitpun, baik sesuai dengan akal kita ataupun tidak.
Karena terkadang terdapat sebuah hadits yang kita mengetahui artinya akan tetapi kita tidak mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya. Maka kewajiban kita membenarkan apa yang beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam kabarkan. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm: 3-4)
Dan juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan
terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (QS. adz-Dzariyat: 23)
Kedua: Melaksanakan perintah beliau dan tidak ragu-ragu dalam melaksanakannya.
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka
sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. al-Ahzab: 36)
Syaikh al-Utsaimin menegaskan: “Termasuk keliru, apabila disampaikan perintah dari Allah dan Rasul-Nya kepada sebagian manusia, mereka mulai bertanya-tanya: apakah perintah ini wajib hukumnya ataukah sunnah?. Perkataan seperti ini seharusnya ditinggalkan dan tidak layak untuk diucapakan, karena sahabat Rasul apabila datang kepada mereka perintah, mereka tidak pernah mengatakan: “Ya Rasulullah, apakah perintah ini wajib hukumnya ataukah sunnah?. Akan tetapi mereka langsung melakukannya tanpa bertanya-tanya hukumnya.” (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyyah, hal. 34)
Ketiga: Meninggalkan segala hal yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam larang tanpa
ragu-ragu dalam meninggalkannya.
Allah ta’ala berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (QS.
al-Hasyr: 7)
Keempat: Lebih mengutamakan perkataan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari
pada manusia selain beliau.
Maksudnya adalah, apabila dalam suatu masalah ada sebuah hadits yang memecahkan permasalahan tersebut, akan tetapi hadits tersebut bertentangan dengan nafsu, maka yang lebih didahulukan adalah sabda Nabi.
Ibnu Abbas berkata: “Hampir-hampir kalian akan dihujani bebatuan dari langit, aku
sampaikan kepada kalian sabda Rasulullah, sedangkan kalian mengatakan: Abu Bakar dan Umar
berkata demikian… .” (HR. Imam Ahmad)
Kelima: Tidak membuat hal-hal yang baru dalam agama yang tidak diperintahkan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam akidah (keyakinan), perkataan, maupun
perbuatan.
Nabi bersabda:
“Barangsiapa yang mengadakan suatu hal yang baru dalam agama yang tidak ada contohnya dari
kami maka amalan tersebut tertolak”. (HR. Bukhari)
Keenam: Kita harus meyakini bahwa Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tidak
memiliki sifat ketuhanan. Maknanya, bahwa Nabi tidak dimintai doa dan pertolongan.
Meminta tolong hanyalah kepada Allah subhanahu wa ta'ala semata. Adapun meminta tolong kepada Nabi
maka dibolehkan pada masa beliau masih hidup, adapun ketika beliau telah meninggal maka
hal ini merupakan bentuk kesyirikan. Karena Nabi tidak dapat memberi manfaat dan mudharat,
sebagaimana firman Allah ta’ala:
Ketujuh: Memuliakan perkataan-perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Yaitu tidak menelantarkan hadits-hadits beliau di tempat-tempat yang tidak layak. Seperti, kamar mandi,
tempat sampah dan yang semisalnya karena hal itu merupakan bentuk penghinaan.
Demikianlah sedikit pemaparan dari penulis, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita
semua. Semoga Allah membuka pintu hidayah-Nya, sehingga kita dapat senantiasa menapaki
sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam serta mengamalkan perintah-perintahnya dan menjauhi
segala larangannya.
[Oleh: Yusuf Solihin]
0 komentar:
Posting Komentar