Jalan seorang muslim dalam menggapai keridhaan Rabb-nya tidaklah mudah,
banyak dipenuhi oleh onak dan duri yang selalu menghadangnya. Begitu pula jalan dalam
menuntut ilmu agama, juga dipenuhi dengan rintangan yang selalu menghadang. Apabila
tidak jeli, bisa jadi ilmu yang ingin digapai menjadi bumerang baginya.
Tidak sedikit ulama yang telah memberikan nasihat dalam mengatasi rintangan itu.
Dan sebagai penuntut ilmu yang bijak, hendaknya ia membaca nasihat para ulama, sehingga
ia tidak terjerumus ke dalam lubang hambatan dan rintangan hingga sulit keluar darinya.
Berikut ini kami akan mengangkat sebuah tulisan tentang rintangan dan halangan
dalam menuntut ilmu syar’i. Rintangan tersebut amat banyak dan beragam. Yang kami
suguhkan hanyalah setetes dari karya-karya emas para ulama yang begitu melimpah.
Semoga hal ini bisa menjadi pencerahan bagi kita semua. Wallahu Muwaffiq
(1). Menuntut ilmu bukan karena Allah.
Menutut ilmu termasuk ibadah. Bahkan menuntut ilmu lebih mulia daripada
amalan-amalan sunnah. Oleh karena itu, menuntut ilmu dengan niat tidak lillahi ta’ala
adalah tidak boleh. Apabila hal itu dilakukan, maka ilmu tersebut akan menjadi bumerang
bagi orang yang mencarinya, bukan menjadi pembela baginya.
Hendaklah ia selalu mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khattab
radiyallahu ‘anhu. Dengan hadist ini imam Bukhari rahimahullah membuka kitab Shahihnya
dalam rangka mengingatkan umat Islam tentang urgensi niat. Nabi bersabda:
Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dari niatnya, dan seseorang itu akan
mendapatkan pahala sesuai dari apa yang ia niatkan. (HR. Bukhari & Muslim)
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya ia mengharap wajah Allah, namun
tidaklah ia menunutut ilmu itu melainkan untuk mendapatkan bagian dari dunia, maka ia
tidak akan mencium wangi surga pada hari kiamat. (HR. Ibnu Majah no. 252)
(2). Tidak mengamalkan ilmu yang didapat.
Penuntut ilmu itu tidak diukur dari banyaknya hafalan al-Qur’an, hadits atau matan-
matan (kitab) yang ia miliki, namun seorang penuntut ilmu diukur sejauh mana
pengamalannya terhadap ilmu yang telah ia pelajari. Dari sinilah Allah mencela orang-orang
Yahudi. Mereka dilaknat karena tidak mengamalkan ilmu yang ada pada mereka.
Perhatiakanlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam berikut:
Tidaklah beranjak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya
untuk apa ia habiskan, dan tentang ilmunya apa yang telah ia amalkan. (HR. Tirmidzi no.
2417)
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah menerangkan dalam kitabnya Hilyah
Thalib al-‘Ilmi (hal. 71) bahwa di antara tanda-tanda ilmu yang bermanfaat adalah sebagai
berikut:
1. Ilmu tersebut diamalkan.
2. Pemiliknya membenci pujian, sanjungan dan tidak sombong.
3. Bertambah tawadhu’ seiring bertambahnya ilmu.
4. Membenci kepemimpinan, popularitas dan dunia.
5. Tidak sok ’alim (berilmu), dll.
(3). Berguru kepada buku tanpa merujuk kepada ulama.
Banyaknya pemuda yang menjadi korban brainwash dikarenakan mereka hanya
mengandalkan buku-buku yang dikarang oleh ustadz atau kyainya, yang seolah-olah
merupakan tokoh pembaharu Islam, akan tetapi sebenarnya yang dibawa adalah pemikiran
nyeleneh. Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu hendaknya jeli dalam menuntut ilmu. Dia
tidak hanya mengandalkan buku-buku. Akan tetapi ia selalu bermuamalah dengan ahli ilmu
yang lebih senior dengan cara bertanya jika mendapatkan kesulitan. Sungguh bijak
perkataan Muhammad bin Sirin rahimahullah:
Sesungguhnya ilmu itu adalah agama, maka hendaklah lihat dari mana kalian
mengambilnya.
(4). Berguru kepada orang-orang yang kerdil ilmunya.
Di antara kesalahan orang yang menuntut ilmu ialah menuntut ilmu dari orang yang
sedikit ilmunya atau yang dikenal di kalangan ulama dengan istilah al-ashooghir. Abdullah
Ibnul Mubarak berpendapat bahwa al-ashooghir ialah ahli bid’ah. Hal ini merupakan salah
satu dari tanda hari kiamat. Dan telah terjadi di zaman ini dimana banyak dai atau muballigh
yang belum mumpuni dalam keilmuaannnya atau yang lebih ironisnya tidak dapat
berbahasa Arab. berdakwah dengan bergaya seperti ulama berbalutkan pakaian orang-
orang berlimu. Sehingga tidak bisa dihitung dengan jari kesalahan yang keluar dari lisannya
dan orang yang tersesat akibat ulahnya. Rasulullah shalallahu ‘alahi wasallam bersabda:
Sesungguhnya di antara tanda-tanda hari kiamat ada tiga: salah satunya ialah diambilnya
ilmu dari al-ashooghir. (HR. Thabrani no. 18343)
(5). Belajar tanpa bertahap-tahap.
Seorang penuntut ilmu yang belajar tanpa bertahap maka tidak akan mendapatkan
faidah dari buku yang dibacanya melainkan sedikit. Ada sebagian penuntut ilmu ketika baru
belajar bahasa Arab langsung membaca kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tanpa membaca
dari kitab para ulama yang bahasanya mudah terlebih dahulu. Perhatikanlah bagaimana
Allah menurunkan kitab-Nya yang mulia dengan berangsur-angsur. Hal ini agar ayat-ayat
yang diturunkan menetap dalam dada kaum muslimin.
(6). ‘Ujub dan sombong.
Sebagai penuntut ilmu yang selalu meneladai salafush shalih, hendaknya ia
mencontoh bagaimana ketawadhu’an mereka terhadap sesama manusia. Ilmu tidak
menjadikan dirinya selalau ingin merasa dihormati oleh manusia. Akan tetapi ketika ilmu
semakin bertambah semakin bertambah pula ketawadhu’an dan ketaqwaannya.
Lain halnya dengan kebanyakan penuntut ilmu. Ketika sudah merasa hafal ini dan
itu atau lulus dari lembaga pendidikan tertentu, timbul rasa sombong dalam dirinya bahwa
selain dirinya adalah orang rendah. Hendaklah hal ini dihilangkan dari dalam dirinya.
Sesungguhnya Allah tidak melihat dari berderetnya gelar yang diraih, akan tetapi Allah
memandang seorang hamba dari ketaqwaannya. Dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri. Firman-Nya:
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
(QS. Luqman: 18)
(7). Terburu-buru ingin memetik hasil.
Banyak dari penuntut ilmu yang belum lama mengenal agama Islam yang benar,
mereka tergesa-gesa ingin segera berdakwah, atau ingin segera menjadi dai. Dia tidak
mengukur kemamapuannya. Sehingga dakwahnya bukan membuat harum agama Islam
akan tetapi mencoreng agama Islam itu sendiri.
Kita tidak dapat menutup mata, bagaimana dakwah dijadikan kontes dalam acara
televisi, kemudian setelah salah satu dari kontestan memenangkan acara tersebut seolah-
olah dia telah menjadi ulama atau dai yang layak berdakwah. Atau seorang yang baru
bertaubat, dakwahnya bukan membuat indah agama Islam akan tetapi mencoreng Islam
dan merendahkan ilmu.
(8). Semangat yang rendah.
Seorang penuntut ilmu syar’i harus mempunyai cita-cita yang tinggi yang dibarengi
dengan usaha dan doa. Sekiranya kita membaca perjalanan para ulama salaf, bagaimana kegigihan mereka dalam menuntut ilmu, maka kisah mereka pasti akan mengkerdilkan diri
kita. Tidak terbayang di akal manusia kegigihan mereka dalam menuntut ilmu. Sehingga
sudah sepantasnya mereka disebut namanya dalam kitabnya yang penuh barakah Insya
Allah sampai hari kiamat nanti. Dikisahkan dalam buku Rihlah ‘ulama fi thalab al-‘ilmi
bahwasanya Imam Ahmad rahimahullah menyusun musnadnya setelah mengelilingi dunia
sebanyak dua kali.
(9). Sering menunda-nunda dan berangan-angan kosong.
Di antara kesalahan seorang penuntut ilmu adalah selalu banyak khayalan dan
angan-angan kosong tanpa adanya konsekuensi dari angan-angan tersebut. Berangan-angan
menjadi ulama kibar atau ustadz kondang dan terkenal. Sehingga apabila demikian, jadilah
dirinya tuan angan-angan.
Jadilah engkau penuntut ilmu sejati dengan cita-cita setinggi langit yang diiringi
dengan usaha dan tawakal. Sungguh indah perkataan seorang penyair:
Andaikata cahaya ilmu dapat digapai dengan angan-angan
Maka pasti tidak akan ada dimuka bumi orang bodoh
Bersunguh-sungguhlah, jangan malas dan jangan tertipu
Sebab penyesalan merupakan balasan bagi yang malas
(10). Hindarilah teman yang buruk.
Di antara yang dapat memberikan pengaruh kepada seseorang dalam menuntut
ilmu adalah seorang teman. Maka itu sudah sepantasnya ia jeli dalam memilih teman.
Karena sebagian dari penuntut ilmu tidak memperhatikan perkara ini, sehingga ketika
semangatnya sedang membara, kemudian datanglah teman yang buruk, maka ia dapat
memadamkan api semangatnya sehingga meninggalkan majlis ilmu.
Nabi menjelaskan bahwasanya teman yang buruk seperti pandai besi yang
memberikan bau tidak sedap kepada temannya, bahkan dapat membakar bajunya. Adapun
teman yang baik, seperti penjual minyak wangi yang dapat memberikan semerbak harum
bahkan memberikan wangi kepada temannya.
Demikianlah beberapa untaian nasihat ulama untuk kita bersama, semoga Allah
selalu memberikan keistiqomahan kepada diri kita dalam menuntut ilmu.
[Oleh: Aulia Ramdanu]
0 komentar:
Posting Komentar